Semenjak pendakian pertama ke Merapi disusul dengan pendakian Lawu tahun yang kemudian menciptakan aku ingin merasakan petualangan ke puncak Merbabu. Merapi, Lawu, dan Merbabu ialah sebuah obsesi eksklusif yang cenderung bercurah tinggi. Keinginan semoga mampu menapaki tiga puncak gunung yang tergolong gunung triangulasi tersebut ialah sebuah cita-cita yang sungguh mendalam.
Solo (13/06/2010), malam hari saat hendak bersiap pulang kampung ke Wonogiri karena telah lama tidak pulang, tiba-tiba ada SMS masuk dari sobat yang mengajak untuk naik gunung, entah gunung apa belum disebutkan. Saya duduk perkara. Namun, tiba-tiba teman aku itu segera menghubungi—karena mungkin SMS-nya tidak pribadi saya balas—dan mengajak untuk naik gunung hari Sabtu, minggu itu juga. Melalui percakapan yang tak terlalu lama, risikonya saya memutuskan untuk tidak mudik dan ikut naik gunung ke Merbabu. Semua serba mendadak, mulai dari persiapan fisik yang belum dipersiapkan, juga mencari perbekalan dan peralatan untuk naik. Tapi semua siap dan mantap.
Solo (25/06/2010), pagi suasananya cerah berawan. Namun, semakin siang cuaca makin tidak bersahabat. Bahkan siang hari terjadi hujan yang cukup membuat kesal. Kadang deras, gerimis, atau tiba-datang reda. Pasukan kandidat pendaki Merbabu disiapsiagakan: Andi (saya), Gancar, Dim, dan Yogi. Bakda Ashar, kami pun berangkat menerobos gerimis yang mengguyur Solo. Naik motor. Agak nekat, tetapi ya enggak apa-apa, yang penting naik gunung dengan niat yang bagus.
Kami tiba di Selo kira-kira pukul 17.00 WIB. Rute dari Selo ke basecamp Merbabu ternyata cukup jauh. Bagi kandidat pendaki yang berangkat naik bus sampai Selo mampu menggunakan jasa tukang ojek untuk sampai ke basecamp. Namun, bagi yang suka jalan-jalan, ya barangkali Selo-basecamp Merbabu mampu ditempuh dengan jalan kaki untuk sekadar pemanasan yang cukup melelahkan.
Tiba di basecamp, kami secepatnya melakukan persiapan. Terlebih dulu kami minum minuman berenergi sebagai bekal permulaan di perut kami. Maghrib dan Isya kami jamak, dan sekitar pukul 18.50 WIB kami mengawali pendakian Merbabu. Cuaca cukup cerah dan berair sehabis hujan. Di kejauhan tampak lampu-lampu kota mirip ribuan bintang yang berada di bumi.
Kami menyusuri jalan setapak di tengah-tengah hutan. Tanpa ada pemanasan terlebih dulu, ternyata rute permulaan cukup menyiksa sebab terdapat banyak jalan yang menanjak. Namun, ada beberapa jalur yang memberi “bonus” pada kami. Sekitar satu jam perjalanan, Dim agak kelelahan menjinjing Carier. Saya bersepakat untuk bertukar daypack saya dengan carier Dim. Kejadian itu pun terjadi. Saya kira waktu saya meletakkan tas berada pada posisi tanah yang lapang sebab keadaan memang gelap. Tapi di saat aku ingin meraih carier, kaki saya agak menyenggol tas saya, dan risikonya..buk.....buk...buk....buk—entah berapa kali—tas aku jatuh ke jurang. Tak ayal lagi, saya cuma bisa bengong. Kalau tas itu tidak bisa diambil, untuk perbekalan/konsumsi selama perjalanan mungkin saya bisa nebeng perbekalan yang lain, tetapi di dalam tas tersebut ada dompet, STNK, SIM, Karmas, kunci sepeda motor, dll. Teman saya, Gancar dan Yogi pun memiliki gagasan mengambilnya. Tanpa ada perlengkapan yang cukup—hanya dengan senter—mereka menuruni jurang yang kira-kira tingkat kemiringannya kira-kira 80 derajat. Tas aku balasannya mampu diambil kira-kira 10 meter di bawah saya menjatuhkannya. Subhanallah......suatu pemanasan yang cukup memanaskan...
Perjalanan dilanjutkan, perjalanan terasa sangat cukup lama dengan jalanan setapak yang becek yang sempat menciptakan beberapa di antara kami terpeleset. Langit makin cerah. Dari ketinggian tertentu, kami mampu melihat meriah lampu-lampu kota yang ada di bawah. Masya Allah, mirip bintang-bintang yang berpindah ke Bumi.
Tak terasa perjalanan hingga di Batu Tulis, adalah suatu tempat agak sedikit terbuka dan ada sebuah batu besar di tengahnya. Entah kenapa dinamai Batu Tulis. Barangkali batu itu penuh goresan pena hasil vandalisme sehingga disebut Batu Tulis. Di Batu Tulis kami makan roti lagi. Di batu Tulis tersebut udara terasa makin acuh taacuh. Kabutpun mulai turun beradu dengan napas kami. Angin semakin kuat bertiup. Namun secara keseluruhan, masih kami anggap selaku cuaca normal ala gunung. Di tengah keeksotisan dan hambar udara di Batu Tulis, aku menyimak lagu Cahaya Bulan “Gie”....Irama lagu tersebut memperbesar situasi menjadi wow....supereksotis...!!
Suara desis angin gunung dan dinginnya udara merbabu menciptakan semangat kami terpacu. Setelah cukup istirahat di Batu Tulis, kami ditemani kabut untuk menmbus perjalanan selanjutnya. Perjalanan kali ini cukup menantang. Jlaur pendakian cukup menanjak dengan kontur tanah yang tidak rata dan sungguh licin. Kadang jalur cukup dilalui karena membentuk kontur mirip sungai. Sampai pada suatu daerah yang sungguh sukar untuk dilewati. Jalur menanjak dan sungguh licin. Saya agak ketinggalan dengan yang lain karena menentukan jalur yang kurang erat. Saya kira melalui sebelah kiri akan memudahkan jalan, tetapi aku menemui kebuntuan alasannya di hadapan saya yaitu tanah setinggi tubuh saya. Jelas saya sangat susah untuk sampai ke atas, apalagi tanahnya sungguh labil. Dengan hati-hati aku kembali ke jalur semula, daripada turun lagi saya mengambil rute memangkas, dan di situlah ketegangan terjadi. Antara jatuh dan tidak. Semua diputuskan oleh sejumput rumput yang aku buat menjadi pegangan. Dan Alhamdulillah ternyata rumput itu berpengaruh dengan tarikan badan aku. Saya telah dinantikan sahabat-sahabat, kata mereka saya usang sekali. Tapi aku sungguh terang menjawab “asal-asalan, tadi saya bertaruh nyawa”.
Dan pada suatu saat, terjadi sebuah hal yang sungguh asing dan fantastis. Tiba-tiba saya mendengar salah seorang sobat aku mengucap Subhanallah, dan secara reflek saya pun mendongak ke atas. Subhanallah....di langit ada semacam sinar biru yang jatuh di bumi. Seperti meteor tapi sangat besar dan dapat dengan terperinci saya lihat. Bahkan saking dekatnya, saya menanti getaran/bunyi tumbukan dengan bumi, namun itu tidak terjadi. Sungguh fantastis, sinar itu mirip hanya berada di balik bukit depan kami. Analisis saya, hal itu kalau menurut orang Jawa adalah “pulung”. Menurut mitos bila pulung berwarna biru maka akan menghadirkan kebaikan/keberuntungan. Sebaliknya, jikalau berwarna merah maka akan mendatangan keburukan/kerugian, bahkan mungkin merupakan santet yang diantaroleh seseorang. Tapi sinar biru yang saya dan teman-sobat lihat di balik bukit Gunung Merbabu itu masih menjadi misteri hingga kini, apakah meteor, pulung, alien, hanya Tuhan yang tahu. Wallahuallam.
Kami istirahat lagi di sekitar watu memoriam. Batu memoriam memang hanyalah watu kawasan mengingat seseorang yang meninggal di daerah tersebut, dan bukan ialah makam. Akan namun, situasi mistis tetap ada dikala saya menyaksikan bentuk memoriam tersebut.
Perjalanan dilanjutkan, angin semakin kuat berembus. Kabut makin tebal. Dan semakin jauh kami melangkah ke ketinggian, angin semakin memperbesar kekuatannya. Perasaan pun cukup waswas, alasannya adalah baru kali ini aku naik gunung dengan keadaan cuaca mirip itu. Sampai di sabana 2 kami beristirahat di antara pepohonan kecil. Ada semacam ceruk kecil di antara pepohonan itu dan aku pun istirahat di sana. Angin pun tak henti-hentinya menambah cemas di dalam diri aku. Anginnya sangat kuat bahkan mebuat langkah tergontai-gontai. Di sabana 2 kami istirahat smabil menunggu membaiknya cuaca. Namun apa mau dikata, angin pun makin jadi menjadi, bahkan terlalu lama istirahat, kantuk pun menyerang. Sempat beberapa detik tertidur, ada yang mengaggetkan mata saya. Sebuah senter mengarah ke mata saya, dan setelah itu terdengar bunyi undangan untuk segera meneruskan perjalanan, sedangkan angin masih sangat berpengaruh berembus.
Kami berlangsung dengan tergontai-gontai, bahkan di jalan setapak sabana 2 yang menyerupai suatu jebatan di antara dua lereng, kami mesti berjalan dengan berpegangan tangan supaya tidak terbawa oleh angin. Jalan yang ditempuh setelah sabana 2 cukup menanjak, dan di jalan setapak tersebut angin masih saja kuat berembus, namun tidak begitu mengusik perjalanan mirip waktu di sabana 2 tadi alasannya jalan setapak beberapa agak tersembunyi di balik bukit atau pepohonan perdu.
Sesampai di sabana 3, situasi cukup eksotis mencekam. Kabut cukup tebal diiringi desahan angin yang terus-menerus berembus dengan kuatnya. Perjalanan di awal sabana 3 cukup memberi bonus untuk kaki kami alasannya adalah jalanan menurun melalui jalan setapak yang terbentuk seperti sungai kecil. Di sabana tersebut kaki kami harus bergesakan pribadi dengan rumput-rumput yang basah dan cukup untuk mmebuat celana kmai menjadi berair pula.
Kami meninggalkan sabana 3 dengan rasa sarat capek, namun masih bersemangat. Meninggalkan sabana 3 dan kemudian memasuki suatu jalan setapak yang kanan kirinya dinaungi tumbuhan edelweis yang tumbuh tinggi, mampu mencapai dua kali tinggi tubuh saya. Waw..andai saja pas animo berbunga dan kita berada di bawahnya. Betapa eksotis. Di sana pun angin masih besar lengan berkuasa berembus. Namun, kuatnya angin agak tidak mengecewakan diredam oleh tetumbuhan edelweis yang berada di sana. Kami mencari daerah untuk mendirikan dome. Dan kami pun kesannya mendapatkan sebuah daerah yang cukup strategis. Agaknya kawasan itu juga sering digunakan untuk mendirikan dome/kemah para pendaki. Hal itu ditunjukkan adanya bekas pembakaran api unggun atau sampah (kebiasaan jelek) yang masih tertinggal.
Kira-kira pukul 01.00 lebih kami mendirikan dome dan sekaligus memasak mie untuk sekadarmengganjal perut dan menghangatkan badan. Kompor gas yang kami bawa pun sedikit berurusan, tetapi dengan ketabahan sahabat saya, hal itu dapat dituntaskan. Dan dini hari itu, program masak-mengolah makanan di antara angin ribut angin Merbabu mampu dikerjakan dengan berhasil. Setelah makan, kami menempatkan badan kami masing-masing di dalam dome. Apes, dari kami berempat, hanya saya yang tidak menggunakan SB (Sleeping Bag). Yah..tidur dengan jaket pun tak mengapa, sekaligus mencicipi betapa acuh taacuh tidur di gunung (sebelumnya aku juga pernah tidur tanpa SB di Pasar Bubrah Merapi hanya dengan memakai jumper—yang aku akui itu sungguh menyiksa aku). Tidur aku pun terusik dengan suara angin ribut angin di luar. Bahkan dome harus mengakui jika angin pada saat itu sangat kencang sehingga bergerak-gerak. Saya pun takut bila dome kami tercabut dan terbawa angin (suatu perasaan yang berlebihan, tetapi memang dikala itu saya merasakannya).
Sampai pagi hari—hingga situasi di luar dome terperinci—kami masih dalam posisi menikmati tidur kami. Sementara angin pun tak kunjung mereda. Masih saja berpengaruh mengempas sekitar. Baru sesudah pukul 09.00 lebih kami pun beranjak dari dome. Aktivitas dilanjutkan dengan mengolah masakan untuk sarapan pagi. Saat itu kondisi perut aku cukup agak berurusan sehingga aku hanya makan bubur instan yang saya bawa dan tidak memakan mi yang dimasak dikala itu. Selesai makan, kami pribadi berkemas untuk secepatnya melanjutkan perjalanan. Sementara itu, kondisi badan aku cukup tidak fit.
Perjalanan pun dilanjutkan. Ternyata perjaanan jalan setapak sangat cukup menanjak dan licin. Pas sekali kami mendirikan dome di kawasan yang tadi karena kalau tidak di sana sangat sukar untuk mendapatkan tempat strategis selanjutnya. Benar saja, badan saya yang kurang fit agak mengganggu perjalanan. Hanya tiap beberapa langkah, aku mesti istirahat untuk mengendalikan napas dan menetralisasi rasa sakit di perut aku. Agaknya maag menyerang perut aku. Saya pun mendapat support dari kawan-kawan. Hingga pada suatu dikala istirahat di bawah pohon, saya meminum minuman ala Mbah Maridjan, dan asing, sesudah itu badan aku agak fit. Bahkan ketika aku berada di depan rombongan, saya berlangsung dengan sedikit istirahat. Dan pada waktu itu aku mendapatkan suatu tongkat—ranting pohon—yang ternyata sungguh membantu saya dalam menapaki jalan setapak yang terjal dan licin. Sementara, kabut kian sempurna mengitari kami.
Puncak Kenteng Songo yakni puncak Gunung Merbabu yang di sana ada beberapa lumpang (kerikil berlubang). Beberapa lumpang ada airnya karena hasil tampungan hujan atau embun. Lumpang tersebut berjumlah lima buah. Menurut dogma, bahu-membahu lumpang di sana berjumlah sembilan (songo), namun hanya orang-orang yang beruntunglah yang mampu melihatnya atau dengan kata lain yang empat lumpang tidak mampu dilihat dengan kasat mata. (adh)