Minggu, 10 Oktober 2021

Mawar Risti

 Risti baru saja pulang dari les sore di sekolahnya Mawar Risti
Cernak: Andi D Handoko
Risti gres saja pulang dari les sore di sekolahnya. Setiba di beranda rumah, Risti murka-marah. Pot bunga mawarnya pecah, tanahnya berhamburan ke mana-mana. Bunga mawar di hadapannya mulai layu. Ia nyaris menangis.
Risti mengundang ibu yang sedang berada di dapur dengan teriakan keras.
“Ibu...! Ibu...!”
“Ada apa Risti, kok manggil Ibu dengan teriak-teriak?” Ibunya tiba dengan buru-buru.
“Ini Bu...!”
“Lho...kok mampu hingga pecah begitu?”
“Mana Risti tahu, Ibu yang seharusnya tahu kenapa pot ini mampu pecah.”
“Ibu dari tadi sibuk di dapur, menyelesaikan pesanan katering.”
“Uuuhhh...” keluh Risti memberikan kekesalannya.
“Risti, sebentar ya, Ibu ke dapur dahulu, takut tempe gorengnya gosong.”
Risti merapikan pot bunganya yang berhamburan di lantai. Dito datang. Sepertinya dia habis bermain bola. Ia pun menerima pertanyaan dari kakaknya.
“Dit, kamu tahu kenapa pot bunga ini pecah?”
“Tiii..ti..tidak tahu Kak, Dito kan baru saja bermain bola,” jawab Dito agak nervous.
“Beneran?”
“Benar,” jawab Dito sambil masuk ke dalam rumah.
Risti sungguh menyayangi bunga mawarnya. Padahal baru tiga hari yang kemudian dia mempunyai bunga mawar itu. Pot sekaligus bunga mawar itu merupakan hadiah ulang tahun dari sahabat-teman sekolahnya. Ia masih ingat, di hari ulang tahunnya yang ke-10 itu, teman-temannya berkata biar memelihara bunga itu dengan baik. Melihat pot dan bunga mawarnya acak-acakan, Risti menjadi sedih.
Sementara itu, di balik jendela Dito mengamati kakaknya di luar. Risti mencoba mengganti pot yang pecah dengan kaleng bekas. Di tanamnya kembali bunga mawar itu biar tidak kian layu dan mati. Tiba-tiba Dito ikut merasa duka. Sebenarnya beliau tahu kenapa pot bunga itu terjatuh dan pecah. Tapi beliau takut berkata yang bantu-membantu pada kakaknya.
Esok harinya, Dito tidak masuk sekolah karena sakit. Dokter telah memeriksanya. Kata dokter Dito sakit demam. Badannya sangat panas. Ia perlu banyak istirahat. Ia mesti teratur minum obat. Padahal Dito paling tidak senang minum obat. Rasanya pahit. Namun Dito mesti minum obat.
Sepulang sekolah, Risti disuruh ibu untuk mempertahankan adiknya. Ia disuruh untuk menyuapi adiknya. Tapi sebelum itu, beliau ganti baju dan meluangkan untuk menyiram bunga mawarnya.
Risti menyuapi adiknya dengan tabah. Badan Dito masih agak panas.
“Bagaimana bunga mawarmu Kak?”
“Sudah mulai segar lagi Dit, untuk saja kemarin Kakak cepat menanamnya kembali dalam kaleng bekas.”
“Maafin Dito ya Kak!”
“Lho kok datang-tiba Dito minta maaf, emangnya ada apa?”
“Sebenarnya Dito yang menjatuhkan pot bunga Kak Risty. Kemarin waktu Dito sendirian bermain bola di halaman, tak sengaja bola Dito menyenggol pot itu.”
Sejenak Risti diam dengan pengukuhan Dito. Kemudian tersenyum kembali.
“Kenapa kemarin membiarkan pot itu dan tidak berterus terperinci terhadap Kakak?”
“Dito takut untuk berterus terperinci.”
“Ya telah, nggak apa-apa, Dito sudah minta maaf dan berkata jujur. Besok-besok dilarang bohong. Memendam kebohongan malah jadi sakit begini.”
“Kak Risti tidak murka?”
“Buat apa Kak Risty marah. Kak Risty sayang Dito. Sekarang yang lebih penting adalah kesembuhan Dito.”
“Terima kasih Kak.”
Mereka berpelukan

Dimuat di Solopos, Minggu 1 November 2009.