Sabtu, 09 Oktober 2021

Bahasa Dan Martabat Bangsa

oleh: Andi Dwi Handoko
Bulan Oktober sering juga disebut juga sebagai bulan bahasa. Beberapa forum seperti Pusat Bahasa atau instansi pendidikan sering memperingati bulan bahasa dengan menyelenggarakan aktivitas kebahasaan. Kegiatan itu mampu berupa kontes menulis karya fiksi maupun non-fiksi, pidato, deklamasi puisi, atau pemilihan duta bahasa. Kegiatan ini dibutuhkan mampu menumbuhkan rasa gembira dan cinta kepada bahasa Indonesia.

Lahirnya perayaan bulan bahasa tak lepas dari insiden Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Poin ketiga dari ikrar Sumpah Pemuda yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia” menandai lahirnya bahasa Indonesia yang sekaligus berkedudukan selaku bahasa nasional. Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 bagian XV, pasal 36, yang berbunyi “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”.

Bahasa Indonesia ikut andil dalam mempersatukan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan bahasa yang tersebar di pulau-pulau sehingga bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa perhubungan (lingua franca). Dengan fungsi ini, bahasa Indonesia merupakan martabat bangsa Indonesia yang harus dipertahankan, dihormati dan dibanggakan. Pengembangan bahasa Indonesia pun terus dikerjakan. Dapat dikenali setiap kali Pusat Bahasa mengeluarkan edisi modern Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka kosa kata di edisi terbaru akan semakin lebih banyak dari pada edisi lama.
Sebagai generasi penerus, kita mesti menjaga dan menumbuhkan rasa cinta serta bangga kepada bahasa Indonesia agar lebih bermartabat. Akan namun efek kurun globalisasi sekarang bertahap sudah mengikis rasa besar hati kepada bahasa Indonesia. Tidak mampu disangkal bahwa kini banyak orang lebih besar hati menggunakan bahasa abnormal dari pada bahasa indonesia.

Sekarang orang-orang, utamanya sampaumur lebih leluasa mengucapkan kata “sorry” dari pada kata “maaf”, “dinner” dari pada “ makan malam”, “cover” dari pada “sampul”, dan lain-lain. Penamaan suatu kawasan pun lebih sering menggunakan bahasa gila dari pada bahasa Indonesia dengan argumentasi fungsi global. Dapat dicontohkan pada penamaan daerah City Walk, Solo Techno Park, Ngarsapura Night Market, dan lain-lain.

Pada dasarnya penggunaan bahasa ajaib dalam komunikasi sah saja dilakukan, terlebih untuk menghadapi tantangan abad globalisasi. Akan tetapi penggunaannya harus sadar situasi. Ketika perlu menggunakan bahasa gila maka gunakan bahasa asing. Sebaliknya bila perlu memakai bahasa Indonesia, maka gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sikap bahasa akan mencerminkan jati diri kita.