Jumat, 01 Oktober 2021

Resensi Cerpen



Sebenarnya resensi cerpen ini ialah peran kuliah delapan tahun yang lalu dan telah aku posting di blog organisasi kampus yang kini masih aktif, tetapi jarang dijamah. Hasil resensi ternyata pernah diambil untuk soal Ujian Nasional SMA dan sering keluar di buku soal latihan.

(Baca juga: Resensi Buku Parent's Story)

Kidung Kebekuan
( Kisah Nyata dari Seorang Sahabat )

Oleh : Liana Yusoli Ibadiyah
Malam ini bintang tiada yang indah, pada umumnya redup tak bercahaya. Bulan hanya terlihat separuh saja, tak mempesona hatiku. Terlihat kedip-kedip lampu dari langit di ujung Utara, mungkin pesawat dari negara besar, aku tak peduli. Langit agak pucat rupanya. Lama saya mengamati langit, mengharap sesuatu timbul di sana. Aku tak percaya yang kutunggu akan datang. Namun aku akan tetap sabar menunggu. Tetap menanti bintang jatuh dan mengucap suatu permintaan semoga nasibku berubah. Sekian waktu kutunggu yang ada tetap kebekuan, keheningan, saya kedinginan oleh angin malam yang semilir lembut.
Sampai risikonya aku kecewa, kuputuskan untuk kembali ke tempat tinggal kecilku. Sebuah kawasan tinggal yang sederhana di kota Purwodadi.
”Besok aku akan kembali ke bukit ini”, pikirku.
Saat kubuka pintu dan memasuki ruang tamu, kulihat ibu tertidur di sofa. Aku tak berani membangunkannya, beliau terlihat lelah sesudah sepanjang hari melakukan pekerjaan . Hingga kubiarkan saja ibuku tertidur di situ. Rona mukanya terlihat kusut tak mirip biasanya.
Aku mulai beranjak, kumasuki kamarku yang remang, sengaja tak kunyalakan lampu. Kuhempaskan tubuhku ke daerah tidur begitu saja. Masih terbayang bisik-bisik yang kudengar dari orang-orang tadi siang.
”Hah...percuma ya ditutup jilbab kayak gitu. Tidak mampu menutupi kejelekannya. Sama saja dengan ibunya. Dasar pembuat aib keluarga, anak tidak terperinci asalnya”.
Pedih hatiku mendengar cehan orang-orang itu. Mereka mencurigai niatku menggunakan jilbab. Kenapa mereka senantiasa menatap sinis ke arahku. Ingin rasanya kumaki mereka. Tapi saya tak bisa, sebab mereka benar. Aku anak tak terang asalnya, tak memiliki ayah yang sah. Tapi saya tak bisa menyalahkan ibu. Dan aku teringat kata-kata seseorang yang tak kukenal, saya sengaja mengupingnya.
”Tetap saja Yuni yang salah. Laki-laki tak bisa disalahkan. Pasti Yuni telah menggodanya. Kalau ia tidak genit begitu, tidak mungkin laki-laki itu terpengaruhi, beliau kan tidak bagus dan tidak seksi sama sekali”.
Tiba-tiba aku menangis mendengar celotehan yang menjelek-jelekkan ibuku mirip itu. Aku kecewa mereka tak menyebutkan ”laki-laki” itu siapa. Dalam hatiku saya ingin tahu ”laki-laki” itu, dialah ayahku, pria yang telah menelantarkan kami.
Aku tetap tak mampu terlelap. Berkali-kali saya mencoba memejamkan mataku, tidak berguna saja. Akankah kutanyakan lagi pada ibu? Siapa ayahku yang bahwasanya? Tak tega rasanya menyakiti hati ibu. Ia selalu menjawab pertanyaanku dengan tangisan.
”Maafkan ibu Nak...semua telah takdir. Jangan kamu tanyakan lagi. Ibu mohon kepadamu”.
Itulah jawaban ibu yang dibarengi tangisan yang meledak. Setelah itu lazimnya ibu tidak mau makan berhari-hari. Sampai saya memohon supaya ibu mau makan.
Tapi malam ini pertanyaan itu kian membuncah di dadaku. Benarkah ibuku yang salah? Lalu apa salahnya? Walaupun kebekuan yang tetap menemaniku, walau aku sendiri, air mata ini telah tak bisa mengalir lagi, telah terlalu kering dan habis.
”Uhuk-uhuk...”
Lamunanku tersadar dikala kudengar ibu terbatuk. Perlahan aku mendekatinya.
”Ibu tidak apa-apa?” tanyaku cemas meihat iu mutah darah.
”Kamu sudah pulang Nay...” ia balik mengajukan pertanyaan mencoba menutupi penyakitnya.
”Ibu tidak apa-apa Nay. Kembalilah tidur, hari sudah larut malam”, jawabnya parau. Aku tak menjawab sepatah katapun.
Dan aku kebigungan setengah mati, ibuku pingsan. Spontan ku telepon taksi, kubawa ibu kerumah sakit.
”Ibu sesungguhnya sakit apa?” itulah yang menggelayut dipikiranku.
”Ibu sakit apa Dok?”, tanyaku khawatir.
”Adik ini.....?”
”Saya Naysa Dok, putrinya”.
”Ibu Anda terkena kanker ganas. Sudah terlalu kritis. Sudah tak ada cita-cita untuk sembuh. Ia mesti opname di sini”. Dokter menjelaskan dengan bunyi pelan, tetapi terasa menggelegar di telingaku.
Pelan-pelan kudekati ibuku. Kulihat air mata bening mengalir di pipinya. Aku mengusapkan tanganku ke pipi ibu, orang yang sungguh kucintai. Tak ada kata-kata terucap dari lisan kami. Perlahan pintu terbuka, kulihat empat orang memasuki ruangan. Ternyata ialah Nenek, Paman, Bibi dan Afza sepupuku.
”Bagaimana keadanmu Yun?” tanya nenek dengan khawatir.
”Aku baik-baik saja Bu”, jawab ibu menyembunyikan sesuatu.
Tiba-datang paman angkat bunyi. Langsung ke pokok persoalan, tanpa basa-bau, tanpa ragu lagi.
” Yun maafkan aku, kamu seperti ini pasti gara-gara saya. Sekarang aku akan menceritakan seluruhnya pada kalian yang ada di sini”.
”Tidak...jangan...” teriak ibu histeris.
”Harus kujelaskan semua terhadap mereka Yun....kamu sudah menderita selama ini, semua gara-gara aku. Aku yang salah, akulah yang seharusnya menderita. Bukan kamu”, sahut paman dengan tegas.
Semua terdiam, seperti menunggu suatu kejutan besar.
”Naysa........” paman menyebut namaku. Aku menoleh ke arahnya, lalu ke arah ibu. Ia tak melanjutkan kata-katanya. Kulihat ibu makin menangis.
”Kamu yaitu anakku” beliau meneruskan bicaranya dengan bunyi pelan.
Bibi tercengang, menangis dan keluar ruangan. Ia merasa shock suaminya selingkuh dengan saudaranya sendiri. Nenek dan Afza juga menangis. Tapi paman tak mengeluarkan setetes air matapun. Ia mirip telah siap dengan segala resikonya.
Paman mengikuti istrinya keluar ruangan. Kubuntuti keduanya tanpa sepengetahuan mereka. Sengaja saya menguping obrolan mereka.
”Ma....semuanya tidak seperti yang engkau pikirkan. Semuanya begitu cepat terjadi”, paman mencoba menjelaskan pada bibi. Bibi tak bergeming, ia tetap menangis, meronta. Lalu paman melanjutkan bicaranya lagi.
”Saat mama bekerja di Brunai, Yuni selalu mengirimkan kuliner ke tempat tinggal”.
”Aku yang memintanya”, kata bibi memangkas pembicaraan. Aku masih menguping.
”Dengar dahulu penjelasanku Ma. Awalnya memang tak terjadi apa-apa. Suatu hari beliau tidur di kamar Afza, pintunya tak terbuka. Kulihat Afza sedang tak dirumah. Aku terpengaruhi dan.......”.
”Sudahlah Pa...biarkan mama sendiri”.
Paman menghampiriku dan mengusap rambutku.
”Maafkan saya Nay...semua salahku. Kini kau boleh memanggil aku ”Ayah”. Bukan salah ibumu saat itu. Aku yang memaksanya. Maafkan aku telah menelantarkan kalian”.
”Tidak...kamu cuma laki-laki tidak punya hati. Hanya mempertimbangkan diri sendiri. Perampas keleluasaan ibuku. Kau bukan ayahku”, kataku sambil lari kearah ibu dan mencoba memeluknya.
Paman menangis di luar ruangan.
Tiba-tiba ibu kejang. Kuminta Afza memanggil dokter. Tak usang ibu melamun....wajahnya pucat tetapi sedikit menyungingkan senyuman.
”Innalillahi wa inna ilaihi roji’un” kata dokter perlahan.
Mendengar hal itu, aku merasa dunia akan runtuh. Semua tinggal kebekuan di hatiku, hanya luka di hatiku.
” Ibu...jangan tinggalkan Naysa Bu. Naysa sendiri tanpa ibu....”
Nenek merengkuhku, mencoba menenangkanku. Bibi kembali masuk ruangan dan menangis. Tapi paman tak berani masuk ruangan, ia terisak di luar sana dan aku tak peduli.
Perlahan sekujur tubuh ibu tertutup tanah, saya tak dapat melihatnya lagi, untuk selamanya. Teriring do’a dalam hatiku, kupanjatkan dengan sepenuh hatiku.
”Nay...mulai kini kau tinggallah bersama kami. Kamu, ayah, bibi sekaligus ibu barumu, nenek dan Afza sudah mau mendapatkan semua kenyataan ini. Semuanya telah memaafkanku dan ibumu. Kamu tidak semestinya menderita Nay...ikutah bersama kami” kata paman padaku sehabis semuanya kembali damai.
Aku cuma mengangguk. Dalam keluarga gres ini aku mulai membangun akidah diriku yang sempat hilang. Aku mencoba mengasihi ayah dan ibuku yang sekarang. Aku ingin memulai hidup senang tanpa dicaci maki orang.
Sebulan sudah berlalu, semuanya baik-baik saja, saat saya besekolah datang-datang handphoneku berdering.
“Assalamu’alaikum. Halo…Ibu ada apa?” tanyaku kaget.
”Nay....cepat kamu kesini Nay...Rumah Sakit Mandiri Sehat”, jawab ibu singkat.
”Ada apa Bu?”.
”Tut...Tut...Tut”
Telpon dimatikan. Dalam hatiku mengajukan pertanyaan-tanya ada apa bahu-membahu? Siapa yang sakit? Sesampainya di rumah sakit, kulihat Ibu dan nenek menangis di ruang tunggu.
”Ada apa Bu?”
”Nay...ayahmu kecelakaan sepulang dari restaurant dengan kliennya. Sekarang ia dioperasi” jawab ibu singkat
Aku melongo, duduk dengan lemas. Tiga jam kutunggu ayahku dioperasi. Rasanya setahun Dokter tak muncul dari ruangan yang seram itu
”Bagaimana Dok?” tanya ibu sesudah dokter keluar.
Dokter menggelengkan kepalanya. Seperti sudah mengisyaratkan sesuatu, telah ada arti darinya.
”Kami sudah berupaya semaksimal mungkin Bu. Tapi Allah yang memilih segalanya. Jantung dia hancur ketika kecelakaan. Tabahkan hati Ibu dan keluarga yang ditinggalkan”.
Nenek dan ibu berpelukan. Aku tak bisa membendung air mata. Kebekuan terasa menemaniku. Aku tak bisa lepas dari kesedihan. Kedukaan mirip menjadi bagian dari hidupku. Kini aku telah kehilangan ayah dan ibu kandungku. Apa lagi yang kupunya kini?
”Ya Allah...kenapa kamu ambil beliau saat aku sudah mempercayainya. Kau sudah mengambil ibuku. Aku sendiri lagi ya Tuhan......Kenapa kau renggut dia dari kehidupanku ketika saya sudah berbahagia dengannya. Apa yang harus saya kerjakan ya Allah? Rasanya baru sebentar saja dia menjadi bab dari hidupku. Kupasrahkan semua takdir terhadap-MU ya Rabb...” rintihku pelan.
Di bukit ini kembali ku tatap langit, tetap tak ada bintang yang indah. Langit tetap suram tak merona sedikitpun. Bintang jatuh yang kutunggu tetap tak muncul. Serangga malam serasa bernyanyi di berbagai ujung, menyanyikan suatu kidung kebekuan untukku. Malam semakin larut, kian cuek. Aku masih sendiri.
Surakarta, 20 Mei 2008

(Baca juga: Cerpen ihwal Politik "Si Tukang Kritik)

HASIL RESENSI CERPEN “KIDUNG KEBEKUAN)
Refleksi Nyata Sebuah Kesepian

Oleh: Andi Dwi Handoko
Cerpen karya Liana Yusoli Ibadiyah ini memiliki judul yang menarik yaitu Kidung Kebekuan. Kidung mampu diartikan lagu atau nyanyian, sedangkan kebekuan ialah metafora dari rasa masbodoh, sunyi, sepi. Itulah kira-kira yang dapat aku interprestasikan dari judul tersebut. Kesan pertama yang timbul dari cerpen ini memang berangkat dari judulnya. Kidung kebekuan mampu saya interprestasikan sebagai kisah yang diselimuti kesepian.
Cerpen ialah sebuah bentuk yang utuh yang didukung unsur-komponen di dalamnya. Salah satunya yakni unsur imajinatif. Kidung kebekuan merupakan kisah realis imajinatif yang berangkat dari suatu dongeng positif (tertulis pada informasi judul pada cerpen tersebut) dari seorang teman pengarang. Walau cerpen ini ialah refleksi dari suatu kisah positif, tetapi bukan bermakna cerpen ini tak imajinatif.
Sebuah cerita positif yang sudah direfleksikan menjadi sebuah cerpen, dapat berdiri menjadi sebuah dunia yang utuh bagi siapa pun yang membacanya. Jadi kisah ini dapat dipandang suatu dongeng yang imaginasi, terlepas dari sebuah dongeng kasatmata dari pengarang.
Cerita dibuka dengan pendeskripsian alam oleh tokoh saya. Sepertinya pengarang ingin membawa pembaca ke dalam suatu ruang imaginasi yang mendeskripsikan alam selaku latarnya. Back to nature, seperti alam menjadi objek yang mampu menarik imaginasi untuk membuka sebuah dongeng. Objek-objek pada alam dituangkan dalam sebuah teks yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat mengakibatkan imaginasi yang kuat. Setelah itu pengarang membawa sebuah rasa pada diri tokoh saya yang diselimuti rasa masbodoh dan sepi yang merupakan ejawantah dari kebekuan rasa.
Setelah dibuka dengan deskripsi ruang imajinasi, pengarang membuat sebuah latar dengan tempat Purwodadi.
Latar belakang pengarang menggunakan daerah Purwodadi karena pengarang sendiri berasal dari tempat itu. Selain itu, cerita ini di dasarkan pada kisah nyata, sehingga mungkin pengarang ingin mengesankan bahwa cerita ini memang benar-benar terjadi mirip apa yang dialami oleh sahabatnya di tempat Purwodadi.
Cerpen ini menceritakan wacana kemelut batin yang dialami tokoh aku. Pergulatan atau konflik batin dalam cerpen ini memang sangat kental. Konflik batin pertama dinikmati oleh tokoh saya yang digunjingkan sebagai pembuat aib keluarga atau anak yang tak terperinci asalnya sebab tak memiliki seorang bapak. Orang-orang pun mencurigai tokoh saya yang memakai jilbab. Kemudian cerita beralih pada kehidupan tokoh ibu yang sedang terjangkit sebuah penyakit. Tokoh saya senantiasa bertanya ihwal siapa bantu-membantu bapaknya, namun ibunya tetap tidak inginmenyebutnya. Mungkin saja pertanyaan-pertanyaan dari tokoh aku kepada ibunya itu yang makin menciptakan parah penyakit ibunya.
Akhirnya penyakit ibunya kian parah dan mesti masuk rumah sakit. Dokter memvonis bahwa ibunya terkena kanker ganas. Dan saat ibunya sudah kritis, terjadi suatu cerita yang menegangkan adalah pengukuhan pamannya bahwa ia yakni ayah tokoh saya., Mendengar legalisasi itu, semua orang yang sedang berada di sana seperti terkena cambuk yang keras. Kemudian dongeng disusul kematian ibunya yang secara tiba-tiba. Setelah itu tokoh aku ikut bareng pamannya yang tak lain ialah ayah kandungnya. Kebencian dalam diri tokoh saya pada ayah kandungnya belum sirna, sehingga beliau belum begitu dekat dengan ayah kandungnya itu. Sehingga waktu mengubah perasaan tokoh saya untuk mengubah perasaannya untuk lebih mengasihi dan mempercayai ayahnya.
Akhirnya muncullah perasaan sayang dan percaya pada diri tokoh aku pada ayahnya, namun sehabis itu dia mendapat kabar bahwa ayahnya tewas sebab kecelakaan. Ia pasrah terhadap Tuhan atas semua yang telah terjadi pada dirinya. Pada tamat cerita tokoh saya kembali merasakan sebuah kesepian, lebih tepatnya kebekuan.
Narasi pada cerpen ini memang cukup menciptakan pembaca mengikuti alur demi alur dengan pertentangan yang ada. Gaya bahasa cukup sederhana sehingga eksklusif mampu dicerna dan nikmati. Cerpen ini termasuk pada gaya realis yang menceritakan tentang kehidupan bahwasanya dan dibalut dengan gaya imajinatif. Pembuka cerpen ini membuat sebuah ketertarikan dengan gaya penceritaan yang halus. Narasi pada tengah-tengah dongeng menghadapkan kita pada fenomena yang pada umumnya dialami penduduk . Sebuah konflik pada sebuah relasi keluarga yang terlampau erat. Perefleksian persoalan ini ialah sebuh nilai plus bagi pengarang. Refleksi dari sebuah realitas sosial yang dituangkan dengan alunan teks-teks yang bersatu padu. Percakapan yang mendominasi cerita ini menunjukkan suatu daya interprestasi positif yang tak selamanya berbentuk jalinan naratif simbolik. Pengarang juga mampu katakana berani alasannya adalah menutup cerpen dengan ending terbuka. Dengan trik semacam ini, pembaca mampu menyimpulkan sendiri atas apa yang akan dialami tokoh saya sehabis itu. Lebih hebatnya lagi, pengarang tidak terjebak pada pengggunaan ending pada kematian ayah dari tokoh saya.
Pada keseluruhan cerita, pengarang terjebak pada gaya bahasa. Ini mungkin juga banyak dialami bagi penulis dongeng pendek yang lain ialah penggunaan gaya bahasa tidak ritmis. Membaca awal cerita kita dihadapkan pada gaya bahasa yang imajinatif namun setelah ke tengah kita dihadapkan pada kisah yang naratif. Isi dari kisah pun dibuat terburu-buru oleh pengarang dan terlampau banyak konflik. Kesan pertama dari saya, pengarang ingin mengetengahkan pertentangan batin, namun sehabis dibaca keseluruhan ternyata tidak. Pengarang terjebak pada kenaratifan ceritanya sehingga isi kisah condong berjalan apa adanya dan kurang pemodifikasian kata. Namun pada kesannya pengarang kembali lagi mirip permulaan. Pada penutup cerpen itu dia menjinjing gaya bahasanya seperti di permulaan. Dapat aku simpulkan ini yakni kisah yang stagnant atau terdapat kemandegan di awal dan di akhir cerita. Hanya tengahnya yang mengalami suatu pergantian dan warna.
Keseluruhan dongeng ini sudah cukup menarik. tetapi ada hal-hal yang kiranya mampu saya catat untuk sekiranya mampu menciptakan cerita dalam cerpen ini lebih menawan. Pertama ialah menghemat percakapan yang tidak perlu. Semakin banyak percaapan yang tidak butuhmaka cerpen ini bentuknya akan semakin longgar. Kedua, yakni meminimalkan gaya bercerita yang terlalu naratif dan detail sehingga kurang dapat menimbulkan daya imaginasi. Ketiga, membuat adegan cerita lewat teks tidak usah terlalu terburu-buru sehingga pencapaian estetisnya kurang. Dan terakhir yaitu pertentangan yang dihadirkan tidak usah terlampau banyak, alasannya adalah pada hakikatnya cerpen adalah kisah yang singkat dan padat.
Cerpen ini mampu dikatakan selaku mediasi bagi pengarang untuk mengembangkan cerita yang diperolehnya. Isi cerpen banyak diselimuti ihwal kesedihan. Sudah pas sekali jika judul cerpen ini yakni Kidung Kebekuan. Dan keseluruhan isi cerpen ini baik menyangkut tema, isi kisah dan amanat merupakan sebuah refleksi dari realitas sosial yang sering dijumpai dalam masyarakat sehingga membuat semua orang yang membacanya akan lebih peka kepada realitas kehidupan.