
Bakso Mak Teplek
oleh: Andi Dwi Handoko Hati Jon Koplo sedang sumringah. Pasalnya, beliau sudah menerima honor permulaan bulan. Segera saja ia mengajak Lady Cempluk, kekasihnya untuk makan malam di sebuah warung bakso. Karena sedang berdompet tebal, Koplo memilih warung bakso yang populer enak dan mahal.
“Lho, Mas Koplo, kok baksonya nggak dimakan?” Cempluk heran alasannya Koplo belum makan glindingan baksonya, beliau cuma makan kuah, sawi, dan minya.
“Pluk, cah ayu yang senantiasa di hatiku, cara makan bakso kayak gini itu mengandung filosofi,” jawab Koplo bak seorang filsuf.
“Maksudnya?”
“Gini, Dik Cempluk, ingat nggak ada pepatah menyampaikan “Berakit-rakit kita ke hulu, berenang-renang ke tepian, terusannya gimana?”
“... bersakit-sakit dulu, bersenang-bahagia kemudian.” jawab Cempluk.
“Betul sekali, jadi cara makan Mas Koplo ini menerapkan makna pepatah tadi, kuah, sawi, dan mi dalam mangkuk ini kan rasanya lazimsaja, yang paling yummy kan glindingannya, jadi glindingannya kumakan agak akhir nanti, jadi seneng-senengnya di waktu simpulan.”
“Oo..begitu...!” respons Cempluk sambil manggut-manggut.
Koplo dan Cempluk pun meneruskan acara makan bakso mereka. Hingga hingga pada saatnya, bakso koplo cuma tinggal kuah sedikit dan lima glindingannya yang masih utuh. Kejadian tak terduga pun terjadi.
Mak... tepleekk...!!!
Entah karena apa, seekor cecak jatuh ke mangkuk Koplo.
Melihat gerakan cecak yang klugat-kluget, Koplo pribadi kehilangan selera makan. Ia pun tak meneruskan makan glindingan baksonya, sedangkan Cempluk justru tertawa ngikik menyaksikan cowoknya.
“Walah Mas.. Mas...!! Mas Koplo!! jika begini bukan bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian, namun bersakit-sakit dahulu, glindingan bakso pun melayang...” canda Cempluk kepada Koplo.
diangkut di rubrik Ah.. Tenane, Solopos, Senin, 14 Maret 2016