Senin, 04 Oktober 2021

Putri Kencana

Di antara Bukit Seribu di Wonogiri terdapat sebuah bukit yang disebut Bukit Gandok Putri Kencana
Oleh : Andi Dwi Handoko

Di antara Bukit Seribu di Wonogiri terdapat suatu bukit yang disebut Bukit Gandok. Bukit ini terletak di Desa Wonodadi. Penduduk sekitar kebanyakan berprofesi sebagai petani. Ketika isu terkini penghujan, mereka menanam padi jenis gogo rancah yang dapat hidup hanya dengan air hujan. Kondisi tanah yang berbukit-bukit menyulitkan mereka untuk bersawah dengan irigasi wajar . Di sisi lain, ketika isu terkini kemarau mereka biasanya memiliki cadangan masakan berupa singkong yang ditanam setelah panen padi gogo rancah.

Adalah Pak Kancil Kariyo Dikromo, seorang petani yang hidup bersama anak istrinya di desa tersebut. Ia umumdiundang Pak Kancil oleh masyarakat setempat. Pak Kancil selain bertani, juga suka berburu. Ia lazimberburu hewan liar seperti ayam hutan, rubah, landak, dan lain-lain di sekitar Bukit Gandok. Suatu pagi, beliau berpamitan terhadap istrinya untuk berburu ke hutan sekitar Bukit Gandok.

“Bu, tolong persiapkan bekal makanan untukku”
“Bapak mau berburu?”
“Iya, tadi malam si bungsu minta dimasakkan daging landak”
“Baik pak, kebetulan ini ada sedikit thiwul* yang gres saja tanak..dan ini dalam botol ada minuman air gula aren hasil sadapan Bapak kemarin”
“Wah...lumayan itu, mampu buat sarapan dan makan siang..paling sebelum petang Bapak telah pulang..Bapak berangkat dahulu ya Bu...”
“Iya Pak..hati-hati...bawa hasil buruan yang banyak, dan jangan lupa undangan si bungsu, jikalau tidak dituruti malah mampu jadi rewel nanti”
“Siap! Gendon.....Ndon.....Gendon...”
“Gukk...guk...guk...guk.....”

Ya, Pak Kancil senantiasa mengajak Gendon untuk berburu. Gendon yakni anjing hitam yang dari kecil dipelihara Pak Kancil. Gendon selalu menolong Pak Kancil untuk mendeteksi eksistensi binatang buruan. Endusan Gendon kepada binatang buruannya sangat tajam sehingga jarang sekali Pak Kancil pulang berburu dengan tangan hampa.
Bukit Gandok bahwasanya hanyalah suatu bukit yang tidak terlalu luas. Tapi karena dikelilingi hutan, dan di sekitarnya ada puluhan bukit yang sambung-menyambung maka tempat Bukit Gandok sangat luas dan masih asri. Banyak hewan yang betah menghuni Bukit Gandok.

Hampir tengah hari Pak Kancil belum menerima hasil. Entah ada apa dengan hari itu. Ia dan Gendon belum mendapatkan sasaran yang tepat. Sejak awal perburuan memang ada beberapa binatang kecil, mirip burung dan tupai, tapi Pak Kancil tidak menangkapnya. Ia bertekad untuk mencari hewan-binatang yang agak besar seperti ayam hutan dan rubah. Tak terkecuali dan yang paling utama titipan si bungsu, yakni landak.
Karena merasa capek, Pak Kancil beristirahat di bawah sebuah pohon beringin yang berada sempurna sisi Bukit Gandok. Ia merebahkan tubuhnya di tanah dengan menyandarkan kepalanya pada tanah yang agak tinggi. Sementara Gendon, berkeliaran di sekitar Pak Kancil, mengendus-endus barangkali ada binatang buruan yang mendekat.
Di antara rasa lelah dan teriknya matahari, Pak Kancil menyantap perbekalannya. Air gula aren sangat terasa menyejukkan tubuh. Tak lupa, nasi thiwul-nya juga ia makan sebagai pengganjal berut dan bekal energi untuk berburu nanti. Gendon pun menerima jatah dari Pak Kancil.

Tiba-tiba Gendon menggonggong dengan keras. Mata Gendon memandang lurus pada suatu tempat. Tak ayal, Pak Kancil yang semula menikmati era istirahatnya, eksklusif terbangun dan menghampiri Gendon. Barangkali ini ialah waktu terbaiknya. Pak Kancil menyaksikan di sebuah kawasan yang masih dalam jangkauan matanya. Di sana ada seekor landak yang tengah berlarian di antara bebatuan. Ia pun segera menyuruh Gendon diam. Gendon memang penurut, menerima kode dari Pak Kancil, Gendon eksklusif diam seketika.
Pak Kancil secepatnya mempersiapkan peralatan berburunya. Anak panah yang telah dilumuri upas untuk berburu telah beliau siapkan beserta busurnya. Ia pun melangkah maju menghampiri landak tersebut. Tapi naluri landak bertindak cepat. Landak itu merasa terancam jiwanya karena ada makhluk gila yang sedang mendekatinya. Dengan sigap ia meninggalkan daerah itu sembari menegakkan bulu-bulunya yang tajam.

Tak ingin buruannya kabur, Pak Kancil secepatnya berlari mengejarnya sambil mengarahkan bidikan panahnya ke arah landak yang berlari. Tapi tiba-tiba Pak Kancil kehilangan landak buruannya.

“Ah...di mana landak tadi? Hari ini mesti kudapatkan landak itu,” umpat Pak Kancil.
Gendon pun beraksi dengan mengandalkan indra penciumannya. Ia mengendus-endus tempat sekitar yang memang lebih banyak didominasi bebatuan karst sehingga ada berbagai lubang-lubang di sana dan lazimnya dihuni hewan-binatang liar. Pak Kancil pun terus mempertajam penglihatannya. Ia menyusuri daerah yang kira-kira digunakan landak tersebut untuk bersembunyi. Namun, datang-tba ada gelagat gila dari si Gendon. Ia menggonggong dengan keras dan berlari menuju sebuah kawasan menjauhi Pak Kancil. Pak Kancil berpikiran bahwa Gendon telah mengetahui daerah persembunyian si landak. Pak Kancil pun berlari mendekati si Gendon.

Tiba di sebuah tempat, Pak Kancil menyaksikan Gendon masuk ke dalam suatu gua sambil terus menggonggong. Pak Kancil kemudian termenung, dia sudah hingga di verbal gua.
“Gua apa ini?” batin Pak Kancil.
Ia belum pernah sekali pun ke daerah ini, bahkan gua ini. Di dalam hati Pak Kancil muncul pertanyaan-pertanyaan ganjil.
“Apa ini gua macan?”
Gua itu memang agak besar di antara lubang-lubang lain di Bukit Gandok yang pernah dilihat Pak Kancil. Mulut gua itu sebesar tubuh Pak Kancil. Sementara matahari mulai mengarahkan tubuhnya ke barat, Pak Kancil memikirkan untuk masuk ke dalam gua atau tidak. Tetapi bagaimana dengan Gendon. Ia pun memanggil-manggil Gendon untuk secepatnya keluar. Akan namun, sudah puluhan kali Pak Kancil memanggil Gendon, Gendon pun tak juga beranjak keluar dari dalam gua tersebut.
“Ndon....Gendon......Ndon....”

Tidak ada gejala bahwa Gendon akan keluar, maka Pak Kancil memutuskan untuk masuk ke dalam gua. Pak Kancil pun masuk dengan posisi badannya miring agar leluasa masuk ke dalam gua. Keadaan dalam gua sangat gelap sekali. Ia pun menyalakan obornya. Ia selalu menenteng obor saat berburu alasannya Pak Kancil memang sering pulang agak malam. Pak Kancil terus menelusuri gua tersebut yang ternyata kian dalam semakin bertambah luas.

Sampailah Pak Kancil pada sebuah kawasan yang membuatnya kagum. Di sana beliau melihat batuan-batuan yang mengilat meruncing. Batuan itu bertambah eksotis tatkala terkena sinar dari obor Pak Kancil. Pak kancil menyebutnya dengan watu lintang. Dan memang para masyarakat di sekitar Bukit Gandok sering mencari watu lintang untuk dijual. Semakin ke dalam, Pak Kancil semakin bertambah decak kagumnya. Semakin dalam ternyata kondisi gua kian cuek alasannya adalah kondisinya yang lembab.
Pak Kancil merasa ada di dunia lain. Dengan diterangi obor dia menyaksikan-lihat keadaan di sekitarnya. Sungguh sungguh mengejutkan. Ia bahkan mulai lupa jikalau tujuan utama ke dalam gua itu yakni mencari si Gendon. Ia pun segera sadar dan kembali memanggil-manggil Gendon.

“Ndon....Gendon......Ndon....”
Yang diundang tetap saja tidak menyahut. Kemudian, Pak Kancil mendapatkan suatu pintu di dalam gua tersebut. Ia sangat kaget, mengapa ada sebuah pintu di dalam gua. Ia pun mendekati pintu tersebut. Tak ada cemas sedikit pun dalam diri Pak Kancil. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal mistis di sekeliling Bukit Gandok. Pak Kancil membuka pintu itu dan terkejutlah dia.

Alam bawah sadar Pak Kancil serasa tersentak. Setelah membuka pintu dia memperoleh sebuah ruangan yang sangat terperinci tanpa pertolongan obornya. Ia pun mematikan obornya. Ia pun kian terkejut saat ia menyaksikan seorang putri berada di ruangan tersebut. Putri tersebut ditemani banyak dayang. Dayang-dayang tersebut tampak melayani segala kebutuhan putri. Sementara, Pak Kancil mematung di ruangan tersebut.
Putri itu sungguh elok sekali. Bergaun sutera biru yang mempesona. Rambutnya hitam legam dan terurai lembut. Keanggunan putri tersebut kian terperinci tampakdari mahkota emas yang dipakainya. Belum pernah Pak Kancil melihat seorang wanita secantik sang Putri. Gaun sutera biru sang putri tampak gemerlap sekali. Ada renda emas di setiap tepinya. Perhiasan-pemanis sang putri terlihat gemerlap. Semuanya yang dibuat dari emas dan mengilat alasannya adalah tertimpa cahaya yang sungguh terang di ruangan tersebut.

“Mari ke sini Pak Kancil,” ujar sang Putri terhadap Pak Kancil yang masih mematung alasannya adalah terkesan dengan semua yang dilihatnya.
“B....ba...ba..bagaimana Pu...pu...tri...tahu nama aku?” tanya Pak Kancil dengan terbata-bata karena gugup.
“Pak Kancil tak usah mempertimbangkan itu. Sekarang Pak Kancil berada dalam istanaku”
“Maaf Putri, saya ke sini hanya ingin mencari anjing saya, tadi masuk ke dalam gua ini”
“Tidak apa-apa Pak Kancil. Soal anjingmu itu tak usahlah kau permasalahkan”
“Tapi Putri, saya mesti pulang dengan anjing saya. Dan aku pun juga belum mendapat buruan landak titipan anak bungsu saya, padahal hari sudah beranjak sore Putri.”
“Tak mengapa Pak Kancil. Pak Kancil di sini dahulu saja. Anjing Pak Kancil takkan hilang di sini.”

Pak Kancil menuruti apa yang diperintahkan sang Putri. Pak Kancil duduk di suatu dingklik yang sudah disediakan oleh dayang-dayang sang Putri.
“Pak Kancil?”
“Iya Putri.”
“Kau pasti kelelahan karena sehari penuh kamu berburu di luar. Makanlah hidangan yang disediakan para dayang itu”
“Eh...maaf Putri, saya masih kenyang, gres saja di luar tadi aku makan perbekalan yang dibuatkan istri saya.”
“Jadi kau menolak hidanganku itu?”

“Bukan berarti begitu tuan Putri, sebab di sini saya hanya tersesat waktu mencari anjing saya, jadi aku tak lezat jika dijamu kuliner-minuman yang mewah itu”
Pak Kancil bantu-membantu sungguh lapar. Walaupun ia sudah makan perbekalan, tetapi melihat masakan yang disajikan Putri tampaksungguh enak, perutnya pun lapar kembali. Namun, Pak Kancil sadar, ia berada di sebuah tempat yang semestinya tidak beliau masuki. Ia berada di alam yang lain. Maka dengan pertimbangan itu, Pak Kancil tidak inginmengkonsumsi apa yang sudah dihidangkan oleh sang Putri. Pak Kancil takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya sesudah makan hidangan dari sang Putri.

Suasana dalam ruang itu terlihat tenang. Pak Kancil tidak tahu mesti berbuat apa. Ia cuma mengarahkan matanya berkeliling memandang setiap sudut ruangan yang ia anggap sungguh aneh tersebut. Di sudut ruang ia menyaksikan seekor kucing dalam sangkar emas. Kucing itu tertidur sungguh pulas. Namun, Pak Kancil tidak menyaksikan tanda-tanda bahwa anjingnya berada di kawasan tersebut. Ia hanya menyaksikan kucing itu. Lalu sang Putri melontarkan pertanyaan untuk Pak Kancil.

“Lalu, apa bergotong-royong apa maumu Pak Kancil?
“E....em... Saya cuma ingin kembali dengan anjing saya, Putri”
“Baiklah Pak Kancil, di sini tak ada anjing yang Pak Kancil cari. Pak Kancil pulang saja ke tempat tinggal Pak Kancil. Supaya tidak kehilangan arah di dalam gua ini, nanti Pak Kancil ikuti saja ke mana kucingku berlangsung. Kucing itu akan mengirim Pak Kancil hingga keluar dari sini,” ujar sang Putri sembari menunjuk ke arah kucing yang sedang tertidur pulas di dalam kandang.
“Baiklah Putri, aku akan mengikuti perintah Putri.”
“Tapi sebelum kau meninggalkan tempat ini, saya ada oleh-oleh untuk Pak Kancil dan keluarga. Kemarilah!”

Pak Kancil mendekat ke singgasana sang Putri. Ia mendapatkan oleh-oleh dari sang Putri berbentukdua buah jadah*. Pak Kancil lalu menaruh dua jadah itu di saku bajunya.
“Terima kasih atas kebaikan Putri, aku pulang dulu, takut hari kian malam.”
“Baiklah Pak Kancil. Hati-hati dalam perjalananmu menuju rumah.”
“Baik Putri.”

Sang Putri lalu membangunkan kucingnya dan membuka pintu sangkarnya. Kucing itu pun keluar dari sangkar emasnya. Mendapat arahan dari sang Putri biar memperlihatkan jalan ke luar gua bagi Pak Kancil, kucing itu pun menurut dan mulai berlangsung ke luar. Pak Kancil mengikuti arah kucing itu berjalan. Ternyata semakin usang, kucing itu semakin cepat berlangsung, bahkan kucing itu mulai berlari meninggalkan Pak Kancil yang mengikutinya. Pak Kancil capek sebab tak mampu memburu kucing itu. Ia pun lupa jalan ke luar. Ia takut kehilangan arah dalam gua itu. Maka Pak Kancil menetapkan untuk kembali ke tempat sang Putri tadi.

“Ada apa Pak Kancil? Mengapa Pak Kancil kembali lagi ke sini?”
“Maaf Putri, Kucing itu berlari sangat cepat sehingga aku tidak mampu mengikutinya. Saya takut tersesat lagi.”
Seketika sang Putri memanggil kucing yang disuruh untuk mengirimkan Pak Kancil tadi. Ajaib, tanpa banyak waktu, kucing itu telah berada dalam ruangan itu lagi. Sang Putri pun menasihati kucingnya.

“Hai Kucing, berjalanlah pelan-pelan, janganlah engkau meninggalkan orang ini!”
Kucing itu menerima perintah sang Putri. Ia mengirim Pak Kancil ke luar gua dengan berjalan pelan. Dan sampailah Pak Kancil di luar gua. Karena telah menunaikan perintah sang Putri, kucing itu lantas kembali ke dalam gua. Ternyata hari sudah petang. Pak Kancil tentu saja membatalkan perburuannya hari ini. Ia pun tidak melanjutkan mencari anjingnya. Ia menentukan pulang ke tempat tinggal.

Keluarga Pak Kancil mencemaskan Pak Kancil sebab sampai malam hari Pak Kancil belum juga datang. Selain itu, si Gendon sore tadi telah sampai di rumah sendirian, tanpa Pak Kancil. Sungguh suatu yang sangat tidak biasa. Mereka takut jikalau terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan pada Pak Kancil. Setiba Pak Kancil di rumah, semua anggota keluarga Pak Kancil merasa lega. Pak Kancil pun lega, selain lega alasannya adalah dia sudah sampai di rumah, ia pun melihat anjingnya juga telah berada di rumah.

Pak Kancil pun menceritakan semua yang dialaminya kepada istri dan anak-anaknya. Mereka pun antara yakin dan tidak yakin. Untuk menentukan kebenaran Pak Kancil, mereka meminta bukti konkret. Pak Kancil pun mengeluarkan jadah yang sudah diberikan sang Putri dari dalam saku bajunya. Tapi Pak Kancil terkejut alasannya ternyata di dalam saku bajunya tidak ada jadah, melainkan dua buah kerikil yang dianggap istri dan anaknya ialah batu lintang yang ukurannya kecil sekali. Istrinya mengatakan bahwa batu lintang kecil itu jikalau dijual niscaya tidak akan ada yang beli.

Batu lintang itu pun diserahkan terhadap anaknya. Merasa tidak ada gunanya, batu lintang itu dibuang. Padahal kalau Pak Kancil dan keluarganya tahu, bahu-membahu watu lintang itu bukanlah kerikil lintang yang mereka lihat biasanya. Itu ialah watu intan permata yang jikalau dijual akan begitu mahal sekali. Karena ketidaktahuan mereka, kerikil itu pun dibuang.

Cerita dari Pak Kancil menyebar dari mulut ke ekspresi. Maka banyak orang di desa sana mendatangi gua yang dimasuki Pak Kancil. Dan di antara orang-orang yang ke sana memang mengakui pernah melihat dan dihadiri putri yang menggunakan mahkota kencana bergaun sutera biru. Mulai dikala itulah tersebar cerita-dongeng tentang eksistensi putri di dalam gua itu dan akibatnya gua tersebut oleh masyarakat sekitar dinamai Gua Putri Kencana*.


Keterangan Cerita:
*Thiwul : nasi yang yang dibuat dari tepung singkong.
*Jadah : sejenis makanan yang terbuat dari ketan.
*Gua Putri Kencana adalah gua yang berada di Desa Wonodadi, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.