
Mata Bening
Oleh : Andi Dwi HandokoUntuk beberapa detik lamanya, mataku terpaku menatap gadis itu. Entahlah, aku mirip tersihir keanggunannya.
Matanya terlihat sejuk dipandang seperti bening embun yang menyegarkan pagi. Langkah kakinya seakan-akan memiliki irama yang berketukan melodis. Gerakan langkah dan tubuhnya di mataku telah menjadi adegan slow motion yang umumnya cuma kulihat di film-film.
Gadis berwajah anggun dan berjilbab biru laut itu mirip menghujaniku dengan salju yang menciptakan badan dan mataku membeku dan terpaku menatapnya. Selangkah demi selangkah beliau menjauh dan karenanya hilang di balik pintu ruang kuliah seberang sana. Aku segera sadar dari keterpakuanku.
“Astagfirullah…”
Aku segera menghela napas yang dalam dan beristigfar. Namun gadis itu memang sangat elok, manis dan manis. Barangkali dialah gadis terindah yang pernah kulihat. Tidak ingin membuang waktu usang, saya segera bergegas ke laboratorium komputer. Ada pekerjaan menunggu di sana. Ada beberapa komputer yang harus kuperbaiki.
Baru sebulan aku kerja selaku teknisi komputer di universitas negeri ini. Setelah tiga tahun bekerja di kantor swasta, Alhamdulillah risikonya aku diterima dalam tes seleksi pegawai negeri di universitas ini. Ijazah D-3 komputer yang sukar payah kudapatkan risikonya dapat mengantarkanku menjadi pegawai ber-NIP. Aku masih ingat dulu, ayahku rela memasarkan sapi satu-satu miliknya hanya untuk membayar uang masuk kuliahku.
Rasanya aku betah kerja di sini. Rekan-rekan kerjaku menerimaku dengan tangan terbuka. Apalagi di sini saya mampu bertemu dengan banyak dosen. Sering berjumpa dan berbicara dengan orang cerdik tentu juga akan membuatku pintar. Kerjaku selaku teknisi komputer juga tidaklah begitu berat dan saya nyaman dengan lingkungan di daerah kerjaku ini. Namun, ada suatu hal yang membuatku agak tidak nyaman. Semua rekan kerjaku sudah menikah dan berkeluarga, sedangkan aku belum sendiri. Rekan-rekanku sering menanyakanku kapan mereka dipanggil ke pernikahanku.
“Mas Fajar, tampaknya kau telah akil balig cukup akal untuk berumah tangga, apalagi telah berstatus PNS. Tunggu apa lagi Mas?” tanya Pak Arif, kepala teknisiku.
“Belum mampu jodoh Pak?”
“Masa belum dapat pujaan hati. Lha itu, ada ratusan mahasiswi. Tinggal pilih mana yang kamu suka. Ha ha ha…”
“Ah, Pak Arif bisa saja.”
“Lho ini benar. Kamu ini modal ganteng dan materi saya nilai sudah plus. Kaprikornus, pasti banyak wanita yang hendak dengan Mas Fajar. Mahasiswi juga enggak apa, malah masih fresh.”
Aku lantas teringat gadis berjilbab biru yang mampu membuatku terpaku. Sepertinya ilham Pak Arif untuk mencari kandidat istri dari kalangan mahasiswi juga tidak ada salahnya. Apalagi aku juga telah sering ditanya ibuku kapan saya menjinjing calon mantu baginya. Aku juga ingat umurku sudah 25 tahun. Nabi Muhammad juga menikah pada usia 25 tahun.
“Assalamualaikum.”
“Waalai…kum…sa…lam,” jawabku tergagap. Ternyata yang menyampaikan salam adalah gadis berjilbab biru yang sudah membuatku kesengsem. Dan sekarang ia persis berada di depanku. Kulihat kedua matanya sungguh bening memancarkan aura keanggunan. Ia seperti bidadari yang datang di depanku.
“Pak Fajar ada?”
“Oh, aku sendiri. Ada yang mampu saya bantu?” aku berusaha hening.
“Saya disuruh Pak Dosen mengundang Anda agar segera ke ruang praktik biologi sebab komputer di sana agak error.”
“Ya, oke. Bisa sekalian dikirim ke ruangannya alasannya aku belum begitu mengenal gedung biologi.”
“Baik Pak. Saya juga akan kembali ke sana.”
Dalam perjalanan ke ruang praktik biologi, kami bercakap-cakap. Ternyata namanya Ayu Bening. Panggilannya Bening. Namanya sangat bening, sebening matanya. Ia mahasiswi biologi semester tujuh sekaligus merangkap selaku asisten dosen. Ia memang gadis yang sungguh ramah dan dari cara bicaranya tergambar kecerdasan. Walaupun gres saja berjumpa , rasanya hati ini telah tertambat dengannya.
“Ya Allah, kalau ia memang jodohku, dekatkanlah saya dengannya dan jikalau beliau bukan jodohku, berilah isyarat bagi hamba-Mu ini,” doaku dalam hati.
Hari dan ahad terus berganti. Aku sudah merasa sungguh betah dengan pekerjaanku. Aku juga sering berjumpa dengan Bening. Kami pun mulai bersahabat, walaupun cuma sebatas saling menyapa sebentar ketika berpapasan atau ketika dia memanggilku untuk masalah teknis. Ia pun terbiasa memanggilku dengan istilah Mas Fajar, sebab usia memang tampaknya saya belum patut dipanggil Pak. Walaupun dekat, ia tampaksangat mempertahankan batas antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Aku jadi semakin percaya untuk membuatnya kandidat istriku. Namun, di sisi lain, apakah ia mau denganku? Tapi itu problem nanti, yang terang saya mesti mengumpulkan modal keberanian untuk meminangnya.
Aku memang masih ngontrak di bersahabat kampus. Rencananya ke depan, aku akan berupaya membeli rumah kecil di perumahan secara kredit. Mengontrak pun butuh beberapa kebutuhan dan kini rasanya aku butuh membeli dispenser. Kuputuskan untuk berbelanja di supermarket.
Setiba di swalayan, aku menyaksikan Bening. Namun, ada yang janggal dengan dirinya. Jantungku rasanya berdenyut makin cepat. Bening berlangsung berduaan dengan seorang laki-laki yang tak kukenal. Rasanya Bening tak mungkin berpacaran. Mereka tampakmesra dengan menjinjing barang belanjaan bareng . Bening pun melihatku dan mendekatiku.
“Assalamualaikum Mas Fajar.”
“Waalaikumsalam Dik Bening,” jawabku sambil menenangkan diri.
“Oh iya Mas Fajar, kenalkan, ini suami aku.”
Jantungku serasa berhenti beberapa detik, lantas berdenyut kembali dengan kencangnya, saya lantas beristigfar. Ternyata selama ini saya mengagumi seseorang yang telah bersuami. Astagfirullahaladziim..
Dimuat di Solopos edisi Jumat, 29 April 2011, Hal.X