Jumat, 01 Oktober 2021

Cerpen Perihal Politik Si Tukang Kritik


Cerpen ini bekerjsama pernah diangkut di Harian Joglosemar, Minggu, 9 Oktober 2011, namun gres aku ketahui tahun 2015 ini.

Si Tukang Kritik
oleh: Andi D. Handoko
Foto-foto yang terselip di tiap halaman album kusam itu seakan membangkitkan sejarah yang telah berlalu. Sejarah yang sarat darah dan api usaha. Barangkali foto-foto itu menjadi bukti bahwa sejarah tak bisa dibohongi hanya dengan teriakan dan orasi-orasi semata. Sejarah itu kejam. Sejarah itu perlawanan. Sejarah itu pemerasan dan penindasan. Namun, sejarah juga menyimpan ingatan dan kebahagiaan.
“Kaprikornus kau dahulu ialah seorang aktivis?”
Keheningan ruang tamu terpecah oleh pertanyaan Barkah pada Joni. Namun Joni tak pribadi menjawab pertanyaan itu. Ia cuma mengernyitkan senyum pada sobat kerjanya itu.
“Mengapa kamu cuma tersenyum, Jon?” tanya Barkah lagi sembari membalik halaman album foto di hadapannya.
“Ya, seperti itulah. Terserah kau mau sebut apa, penggerak atau istilah yang lain. Hanya saja, pada masa itu, saya dan sobat-teman kampus hanya ingin mengeluarkan unek-unek kami. Kami merasa kami perlu bertindak atas matinya demokrasi saat itu.”
“Gaya bicaramu memang ciri khas orang idealis. Dari foto-fotomu ini dan beberapa kliping tulisanmu di media massa, aku agak heran kau sekarang malah menjadi seorang guru sekolah dasar. Harusnya kamu lebih cocok jadi wartawan atau politikus.”
“Mungkin memang sudah garis hidupku untuk menolong mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi seorang guru, ha...ha...ha... Kalau menjadi wartawan, itu telah kulakukan waktu di kampus dulu. Jelek-buruk begini saya pernah menjadi pemimpin redaksi majalah kampus.”
“Tapi kalau jadi politikus? Kau merasa kesengsem?”
“Menjadi politikus atau pejabat negara itu godaannya sangat besar. Sistem yang karut-marut sudah menciptakan idealisme mati. Sulit untuk mengganti tata cara yang sudah telanjur salah kaprah itu.”
“Maksudnya?”
“Contoh praktis saja, suap-menyuap dan pungli telah menjadi sistem yang sungguh susah dihapus. Sekadar buat KTP saja, mesti ada uang manajemen agar jadi lebih cepat.”
“Benar itu Jon, kemarin keponakanku dongeng, ia memperpanjang SIM dan telah mengeluarkan uang biaya sesuai dengan ketentuan yang telah ada. Namun, ketika baru mau ambil SIM yang telah diperpanjang, ia malah ditarik ongkos lagi dan tanpa kuitansi.”
“Ditarik berapa?”
“Rp 30.000.”
“Tanpa kuitansi?”
“Tanpa.”
“Itu mempunyai arti keponakanmu yang terbelakang, ha...ha...ha... Kalau mengurus sesuatu di kantor milik pemerintah, setiap biaya niscaya ada kuitansi. Kalau tidak ada, pasti itu masuk ke kantong para abdnegara pemerintah itu. Bayangkan saja, retribusi masuk ke suatu terminal dengan membayar Rp 200 saja pakai karcis, apalagi Rp 3.000. Jelas-jelas itu pasti cuma masuk kantong saja.”
“Heran, padahal mereka itu telah dapat gaji dari pemerintah yang bisa sampai dua tiga kali lipat upah sekurang-kurangnyakota, mampu pemberian anak istri, belum yang lain-yang lain. Tapi tetap saja kegemaran nilap duit-duit rakyat. Apa mereka nyaman dengan uang haram seperti itu.”
“Ya, semua kembali ke persepsi masing-masing. Semua memang subjektif. Menurutmu mungkin dengan honor dan segala tunjangannya cukup bagi mereka, namun bagi mereka itu mungkin belum cukup. Kaprikornus, ya apa boleh buat mereka berbuat semaunya.”
Suasana hening lagi. Joni menyeruput kopi cantik yang sudah dihidangkan istrinya yang menurut Joni yaitu wanita yang paling bagus. Sementara, Barkah masih saja membolak-balik foto-foto Joni dalam album yang mulai kusam itu. Ia mirip ingin mengenal lebih lanjut teman mengajarnya itu.
“Ini siapa Jon? Kulihat dalam foto-foto ini, sepertinya kamu sangat erat dan dekat dengannya.”
“Aku memanggilnya Boim, teman satu Sekolah Menengan Atas dan satu jurusan juga waktu kuliah. Dulu, beliau juga sering berdemo denganku. Bahkan di antara aku dan teman-sobat yang lain, Boim ialah mahasiswa yang paling berani. Karena keberanian dan kenekatannya yang senantiasa mengkritik kebijakan pemerintah dan kampus, kami memanggilnya si Tukang Kritik.”
Joni mulai menceritakan secara rincian soal Boim kepada Barkah. Dalam kenangan Joni, Boim ialah seorang mahasiswa yang sungguh kritis. Ia yaitu aktivis kolom Tikam di majalah kampusnya dulu. Tikam itu yakni singkatan dari “kritikan kampus”. Isi kolom itu yaitu kritikan untuk kebijakan-kebijakan kampus yang dinilai kurang sempurna dan adikara.
Namun, apa yang terjadi, baru dua kali kolom itu terbit, pihak kampus telah menyuruh untuk menetralisir kolom tersebut. Sementara, si Boim yang ketika itu selaku pemimpin redaksi mesti rela berjam-jam diinterogasi pimpinan kampus. Awak redaksi yang lain pun juga begitu. Akibatnya, pihak kampus mengancam tidak akan mengucurkan dana untuk pers kampus tersebut. Dengan perundingan yang panjang dan aneka macam alasan, akibatnya pers kampus tetap jalan, walau si Boim harus lengser dari kursi pemimpin redaksi.
“Gila! Dalam kolom itu, si Boim menulis opini berjudul Kantor Kampus Sarang Tikus. Gila benar si Tukang Kritik itu!” terperinci Joni berapi-api pada Barkah.
Joni terus mengurai cerita Boim. Boim ialah inisiator dan pelopor mahasiswa turun ke jalan untuk melengserkan tampuk kepemimpinan Orde Baru. Ia dengan lantang menyuarakan bahwa Orde Baru yaitu pemerintahan yang sangat wangi. Ia menuliskan kritikannya pada Orde Baru pada sebuah kertas, dan ia fotokopi sendiri dan disebarkan terhadap masyarakat. Ia memang si Tukang Kritik yang pantang menyerah. Julukannya itu memang betul-betul pantas untuknya.
“Gara-gara dekat dengan Boim. Aku jadi ketularan. Oleh teman-teman, aku dijuluki wakil tukang kritik...ha... ha...”
“Pantas saja, di sekolah kau juga senantiasa ngeyel.”
“Bukan ngeyel, tetapi hanya bersikap yang sempurna. Bayangkan saja, abad kepala sekolah mau menyunat dana BOS untuk dibagi terhadap guru-guru? Menarik duit seragam siswa baru secara berlebihan agar untung banyak dan masuk kantong langsung, padahal sekolah kita sekolah negeri. Tidak pantaskah untuk dikritik?”
“Tapi kamu menjadi dibenci oleh Pak Kepala.”
“Ya, itu konsekuensi. Itulah yang dinamakan metode yang masih amburadul. Banyak orang idealis yang luntur idealismenya alasannya masuk ke dalam sistem seperti itu. Dan aku pernah ngobrol dengan seorang budayawan. Katanya, idealisme itu kian tua kian menyusut. Maka banyak orang yang dulu yaitu aktivis mahasiswa dan kini menjadi pejabat, sudah berani bermain dengan korupsi. Ya, sebab idealisme mereka luntur. Dulu mereka berkoar-koar menentang pejabat yang korupsi, eh setelah jadi pejabat sungguhan malah dirinya sendiri yang korupsi.”
“Benar kau Jon. Kata orang-orang jaman wis edan, yen ra melu edan ora keduman dan seluruhnya ikut edan.”
“Itulah mengapa korupsi susah diberantas dan aturan di negara kita bisa dipermainkan dan orang yang idealis justru terpinggirkan dari masyarakat.”
Joni dan Barkah kembali membisu. Barkah mengangguk-angguk seakan ia membenarkan apa yang sudah dipaparkan Joni. Dari kisah yang diuraikan Joni, Barkah menjadi lebih memahami bahwa orang seumuran yang ada di hadapannya adalah seorang guru yang memang lain ketimbang yang lain. Karena seumuran, di luar lingkungan sekolah mereka justru lebih sering memanggil pribadi nama mereka masing-masing.
“Kopinya silakan diminum. Malah keburu dingin jadi kurang lezat,” suara Joni memecah keheningan di antara keduanya.
“Iya Jon,” ucap Barkah seraya meraih cangkir di depannya.
“Kau lihat pejabat negara, anggota dewan yang terhormat dan menteri-menteri kini? Mereka cenderung bersifat pragmatis dan antikritik.”
“Betul Jon. Mereka itu jikalau dikritik senantiasa berargumentasi untuk kepentingan rakyat, padahal sebenarnya mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan partainya. Ironis, mereka selalu minta honor yang tinggi. Katanya untuk mengembangkan kinerja, bahkan sering menghambur-hamburkan uang rakyat cuma dengan alih-alih studi banding ke luar negeri.”
“Ya, memang ironis dan lucu. Padahal seharusnya mereka melakukan pekerjaan dan berprestasi dulu, gres minta kenaikan gaji. Eh, kerja masih berantakan, yang digunjingkan hanya honor dan pinjaman saja.”
Suasana kembali tenang. Joni menyeruput kopinya, sedangkan Barkah sibuk dengan ponselnya yang baru saja mendapatkan pesan singkat. Setelah tamat dengan ponselnya, datang-tiba Barkah teringat sesuatu.
“Oh, iya Jon, saya hingga lupa. Kembali soal temanmu tadi itu. Siapa namanya tadi?”
“Aku memanggilnya Boim.”
“Terus kini si Boim itu ada di mana? Kalian masih berkomunikasi?”
“Dia di Jakarta. Saya sering SMS dan telepon dia, tetapi tidak pernah dibalas atau diangkat. Barangkali beliau sungguh sibuk.”
“Memangnya sekarang beliau kerja apa di Jakarta?”
“Makara anggota dewan.”


 Andi Dwi Handoko
Penulis ialah pencinta dunia
sastra, tinggal di Sambeng RT 2 RW I, Sedayu, Pracimantoro, Wonogiri
 http://www.edisicetak.joglosemar.co/isu/si-tukang-kritik-56208.html