Rabu, 06 Oktober 2021

Cerpen: Perempuan Yang Menangisi Malam


Oleh Andi Dwi Handoko

Malam mirip biasa. Gelap dan setengah mengiba pada purnama untuk sekadar memberi cahaya. Perempuan itu duduk di atas dingklik ruang keluarga. Kursi kayu yang entah berapa tahun menghuni rumah itu. Televisi mati. Lampu temaram menciptakan eksotisme absurd pada guraian rambut perempuan itu. Jam dinding seakan memberi irama stagnan pengirim malam. Suasana rumah sepi. Bahkan suara serangga malam enggan untuk mengawalgelap malam. Sungguh malam yang teramat kejam menelan seorang wanita yang sendiri dalam kesepian.

Perempuan itu masih dalam keheningan malam. Ia sedang menghayati malam. Menelan malam dan membuangnya dalam kenangan. Ia bernyanyi dalam keheningan malam. Nyanyian kesepian yang barangkali terhenti ketika pagi datang. Dan mungkin akan terulang lagi di malam-malam selanjutnya. Ia masih duduk dengan ketenangan tubuhnya. Sesekali beliau menghela napas panjang. Kemudian membisu tak bergerak. Ada sebuah yang menggelisahkan dirinya. Ia ingin beranjak duduk, tetapi tubuhnya serasa tidak berpengaruh untuk berjingkat. Ia ingin segera berlari meninggalkan malam.

Kegelisahannya memuncak ketika isak tangis keluar dari napasnya. Ada air mata dan desah napas yang terpenggal isak tangis. Ia mirip tak kuasa untuk menahan beban berat yang beliau rasakan untuk beberapa saat kemudian. Ia tak mampu bercerita dengan siapapun di sana. Tidak ada orang lain. Ia cuma sendiri. Hanya mampu menangis dan tak mampu meratap. Hanya isak dan air mata. Itu saja. Barangkali kalau ada seorang yang bisa mengajaknya bercerita, ia akan merasakan ketenangan. Atau barangkali dia lebih bahagia untuk berbicara pada dirinya sendiri lewat air mata.

Dinding-dinding rumahnya seakan menjadi rekaman insiden akan dirinya. Dalam duduknya, perempuan itu sekilas menyaksikan sebuah bayangan. Tampak abstrak, semu, dan bias. Akan namun, dia bisa menghilangkan ketidakjelasan itu menjadi bayangan yang sempurna. Ada anak kecil dihadapannya menari dengan langkah-langkah yang eksotis. Anak perempuan umur sekitar enam tahun. Wajahnya mungil dan anggun. Anak perempuan itu menari balet. Meliuk-liukkan tubuhnya mirip karet elastis. Tangannya diayun-ayunkan seperti sayap burung camar meliuk-liuk di atas deru ombak. Anak kecil itu terus menari dan lalu berhenti dikala menyaksikan ada seorang wanita dewasa duduk menangis tanpa meratap dihadapannya.

Anak kecil itu tersenyum. Senyum yang sungguh acuh taacuh. Sedingin udara di ruang itu. Senyum itu ia tujukan untuk wanita akil balig cukup akal dihadapannya. Senyum itu seperti memberi pertanyaan ihwal “ mengapa kamu menangis?”. Senyum itu juga mirip isyarat untuk perempuan remaja itu untuk menghentikan tangisnya. Senyum kecil itu seperti senyum magis. Dingin dan memerindingkan bulu kuduk perempuan itu. Sejenak perempuan itu menahan isaknya. Menahan airmatanya dan menjajal mengatur irama napasnya yang tak beraturan. Perempuan itu memandang anak kecil di hadapannya. Mereka saling tatap. Tidak ada komunikasi verbal. Namun ada suatu kekerabatan komunikasi di antara dua mata yang sedang beradu tersebut. Barangkali telepati atau kontak batin.

Perempuan itu kemudian bangkit dari duduknya dan mengulum senyum di mulutnya yang pucat. Perempuan cukup umur dan seorang anak kecil sama-sama bangun di dalam ruang temaram. Tak ada kata yang terlontar. Tidak ada gerakan slow motion mirip adegan-adegan yang sering ditemukan dalam film. Semua terlihat alami, tetapi terasa magis. Ada sebuah situasi yang sakral, entah dalam senyum itu, entah juga pada dingin udara di ruang itu. Sementara jam dinding terus mengalunkan irama stagnan. Perempuan itu mendekati anak kecil itu. Anak kecil itu tetap membisu. Tangan perempuan itu ingin menjamah badan anak kecil itu. Kemudian bibir perempuan itu bergerak hendak mengucap sebuah kata atau kalimat. Namun napasnya masih saja belum teratur. Perempuan itu menggerakkan bibirnya lagi. Kali ini dengan iringan napas yang telah berat ditatanya. Ada suatu kata terlontar dari ekspresi wanita itu “Sayang!!”

Tiba-tiba senyum masbodoh anak kecil itu menghilang. Wajahnya terlihat sayu dan ingin menangis. Dan tak selang berapa usang anak kecil itu membalikkan tubuh. Segera saja dengan kaki kecilnya beliau berlari menjauhi ruang itu. Ia berlari dengan cepat. Seperti spontan tanpa dorongan niat. Tanpa gerakkan elastis seperti tarian balet. Anak kecil itu berlari meninggalkan wanita yang sempat mengucapkan satu kata untuknya. Menuju suatu pintu di ujung ruangan. Belum sempat wanita itu mengejar-ngejar , anak kecil itu sudah keluar lewat pintu dan menutup pintu itu dengan cepat. Ada cemas dalam benak perempuan itu. Barangkali anak kecil itu juga ketakutan saat mendengar sebuah kata dari wanita itu.

Perempuan itu menawan gagang pintu yang telah tertutup. Mencoba membuka pintu tersebut. Akan namun, sia-sia saja. Pintu itu tak mampu dibukanya. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya dan bersandar pada daun pintu. Ia kembali menangis. Tangisnya hanya berbuah isak dan air mata. Sama sekali bukan ratapan. Ia menangis sunyi. Dan malam makin bangun dalam kegelapan. Gelap malam selalu menelan tangis perempuan itu. Ya. Setiap malam wanita itu senantiasa menangis. Barangkali dia sangat takut menghadapi malam yang datang dalam siklus pergantian hari.

Ada sayat perih di hatinya. Tersungkur sendiri dalam ruang remang-remang dan sangat sepi. Sepi sekali. Lalu entah darimana datang bunyi. Suara yang entah. Begitu memilukan dan menyayat hati. Bukan melodi Mozart atau alunan nada Kitaro. Suara itu sungguh terasa menusuk-nusuk jantung hatinya. Barisan nada-nada minor merambat lewat gendang telinganya. Masuk ke dalam organ yang lebih dalam sampai masuk ke dalam arteri dan aorta, menyebar dalam darah. Menyayat setiap cabang urat syaraf. Berproses dalam dimensi ruang absurd. Serba entah dan memilukan. Semua cuma berujung pada isak dan airmata perempuan itu. Perempuan yang senantiasa menangisi malam.

Tiba-datang saja, terdengar derit pintu. Pintu lain. Bukan pintu daerah bersandar wanita itu. Seorang lelaki masuk dalam ruangan. Lelaki dengan kemeja biru muda dan dasi yang telah tidak rapi. Wajahnya kelihatan lelah, sayu, dan sepertinya kantuk sudah mengganjal kedua kelopak matanya. Perempuan itu tak menyadari ada seorang laki-laki yang masuk dalam ruangan tersebut. Perempuan itu tetap mengisak dan meneteskan bulir-bulir air mata.

Lelaki tersebut menghampirinya. Lelaki tersebut memegang tangannya, tetapi wanita itu cuma memandang laki-laki itu dengan persepsi kosong. Lelaki tersebut menggerakkan mulutnya dan sedikit menggerakkan kepalanya ke bawah—semacam anggukan. Barangkali berbisik sesuatu. Atau mungkin juga sebuah isyarat untuk wanita itu. Lantas laki-laki tersebut membopong perempuan itu. Masuk dalam sebuah kamar. Lampu dinyalakan. Lelaki tersebut membaringkan perempuan tersebut di atas ranjang. Perempuan itu masih mengisak dan meneteskan airmata. Ada kepiluan dan kesedihan yang juga dirasakan laki-laki tersebut ketika menatap kondisi wanita itu.

“Tidurlah Sarasvati..! Anak kita sudah tidur nyenyak dalam mimpinya. Ia telah bermain riang dalam taman surga ditemani malaikat dan peri-peri kecil yang sangat baik. Tidurlah…tidur..!” laki-laki itu berbisik ke pendengaran wanita itu.

Lelaki itu meninggalkannya dan mematikan lampu kamar. Keluar dan menutup pintu. Perempuan itu sepertinya lebih tampak hening. Ia berbaring miring di atas ranjang. Akan namun, ia masih saja menangis. Menangisi malam yang telah menghadiahkan keabadian mimpi taman nirwana bagi anaknya. Ia terus menangis tanpa ratapan gelap malam hingga letih dan tertidur. Hampir subuh mungkin