Selasa, 05 Oktober 2021

Senandung Ilalang Di Wajah Merbabu

 Pada kerinduan yang tak sempat terjamah Senandung Ilalang di Wajah Merbabu
Pada kerinduan yang tak sempat terjamah, pada kabut gunung dan segarnya bacin edelweiss di pagi hari, pada semilirnya angin yang kadang menggigilkan tubuh, rasanya sangat ingin akrab kembali dengan semua itu. Mei. Yah, mirip tahun yang kemudian, pada Mei ‘11 akibatnya kusempatkan untuk mendekap kerinduan itu. Kerinduan pada Gunung Merbabu. Memang benar kata salah seorang temanku bahwa mendaki gunung ialah candu.

Cerita bermula dari komentar status Fb temanku yang menyiapkan bahwa dia akan mendaki Merbabu. Selidik punya selidik, ternyata pendakian akan dijalankan bareng rombongan dari LPM. Akhirnya, satu hari sebelum pendakian saya menyatakan untuk ikut. Yah, padahal statusku pada waktu itu yaitu “sementara menganggur” dan sebaiknya pada hari itu, aku mengikuti ujian microteaching di salah satu sekolah swasta. Namun, aku menentukan mendaki gunung. Ha ha ha. Selain memang alasannya adalah keinginan untuk foto-foto di sabana Merbabu (yang tahun lalu berkabut tebal dan angin ribut), juga ada sokongan dana dari orderan menyusun buku (buku belum beres, uang sudah masuk rekening..he he).

Langsung saja. Rombongan berisikan 15 orang: Sigit, Djoko, Andi, Wisman, Huda, Hanif, Bambang, Imron, Qodri, Jatmiko, Tambak, Tut-tut, Aish, Desi, dan Tyas. Dari Solo (20/5) berangkat sekitar pukul 17.30 WIB. Herannya, setiap saya akan mendaki Merbabu, setiap berangkat mesti turun hujan. Perjalanan dijadwalkan melalui jalur Selo. Dengan beberapa hambatan (tergolong si Biru Manis saya yang ikut-ikutan mogok segala) jadinya kami sampai basecamp sekitar pukul 22.00. Jalan ke basecamp pun telah rusak, pokoke ancur. Setelah packing dan berdoa, pendakian pun dimulai sekitar pukul 22.30.
 Pada kerinduan yang tak sempat terjamah Senandung Ilalang di Wajah Merbabu
Keluar dari basecamp jalur yang kami lalui yaitu jalan beraspal, namun tak hingga seratus meter kami masuk ke dalam hutan dan lewat jalan setapak. Jalan setapak agak mendaki, tetapi masih banyak “bonusnya” adalah jalan yang landai. Untuk menuju pos satu, kami memutari bukit. Semakin lama, jalanan semakin terjal dengan sebelah kanan jurang yang saya namakan jurang “buk..buk..buk..” alasannya adalah waktu pendakian pertama dulu, tas aku pernah jatuh ke jurang tersebut dan bunyinya buk..buk..buk..karena jeda tertahan semak-semak. Obrolan, selentingan, dan teriakan gokil kadang kami unggulkan untuk penyemangat. Tetes-tetes air sisa hujan kadang masih kami rasakan sepanjang perjalanan. Pohon-pohon yang besar masih menaungi perjalanan kami. Akhirnya, kami hingga Pos I pada pukul 00.00. Kami melepas lelah sembari menatap bulan yang kadang tertutup awan. Suasana mistis ala gunung pun terasa.

Puas istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Bila terlalu lama istirahat, otot-otot yang telah panas, akan cepat cuek, dan itu mampu menyebabkan kram. Bahkan bila suhu badan turun alasannya usang tak bergerak, badan pun bisa drop. Perjalanan menuju Pos II nyaris sama keadaannya dengan menuju Pos I. Masih kanan jurang dan dinaungi pohon-pohon. Dan sampailah kami di suatu pertigaan, lurus atau belok kiri. Jalan lurus agak gelap dan pribadi turun karena ada akar pohon yang melintang di jalan setapak. Leader pribadi mengarahkan jalannya ke arah kiri. Jalan kemudian agak menanjak dengan kanan kiri rerumputan dan semak-semak.

Perjalanan terasa aneh, karena aku dulu sepertinya tidak melewati jalan setapak ini. Jalannya mendaki terus dan kanan-kiri rerumputan tinggi-tinggi. Pohon-pohonnya pun agak jarang dan kecil-kecil. Padahal, kalau menuju Pos 2 harusnya masih banyak pohon-pohon besar. Setelah usang berlangsung, aku pun sadar, kami tak lewat jembatan kalimati—sebuah sungai kecil dengan jembatan dari dahan-dahan pohon.

Saya bersimpulan, kami salah jalur. Senter-senter dari pendaki lain pun tampak on-off ke arah kami. Dan itu saya percaya untuk memberi sinyal bahwa kami salah jalur. Sepertinya ini yaitu jalur yang umum digunakan masyarakatdan bukan jalur resmi yang umumnya dilewati pendaki. Dan memang benar, ternyata kami salah ambil jalur di pertigaan sehabis Pos 1. Seharusnya kami ambil jalur lurus dan agak menurun. Tapi pendakian tetap diteruskan alasannya adalah sudah kepalang tanggung. Bila harus kembali ke pertigaan tadi, sudah jauh sekali jaraknya. Kami yakin niscaya ada jalur untuk ke puncak walau jalurnya bisa jadi lebih jauh dari jalur resmi. Angin berembus semakin kencang, suhu udara makin terasa menggigilkan tubuh. Apalagi saya masih berkostum kaus pendek dan celana juga pendek. Langit semakin cerah, dan bulan makin memberi banyak sinarnya.

Akhirnya, kami sampai pada suatu kawasan dengan percabangan jalan, leader menjajal lurus, namun saya dan Tutut menganjurkan untuk mengevaluasi jalur ke kanan alasannya aku rasa jalur ke puncak cenderung ke arah kanan. Setelah aku cek, ternyata jalurnya masih ada dan kelihatan. Akhirnya kami menetapkan ke kanan. Kami seperti di dalam lembah. Aroma mistis pun semakin berpengaruh sebab kami mencium aroma bebunga di sana. Entah aroma dari bunga apa, aku senidir tidak tahu. Namun, panorama di lembah itu sungguh memesona.
 Pada kerinduan yang tak sempat terjamah Senandung Ilalang di Wajah Merbabu
Kami dihidangkan padang yang luas dengan hamparan ilalang yang kadang hingga setinggi perut. Ilalang mirip bersenandung dengan cahaya bulan dan diiringi irama embusan angin yang makin dingin menusuk tubuh. Perjalanan agak sedikit menurun, namun di depan sudah disuguhkan siluet bukit yang terjal. Jarak antaranggota telah mulai renggang. Ketika mendaki bukit, saya sudah mulai tidak tahan dengan cuek yang diembuskan angin ke badan. Maka saya memakai jaket yang aku taruh di tas. Lumayan, rasa masbodoh pun berkurang. Di antara sela istirahat, aku menikmati kentang rebus—bekal yang diberikan oleh orang tercinta.he he….

Sampai di atas bukit sekitar pukul 02.00 kurang sedikit, kami hingga di suatu kawasan terbuka. Letaknya datar, tetapi tidak ada pepohonan, semua rumput dan semak. Kami pun mendapatkan ceruk yang lumayan meminimalisasi terpaan angin. Kami istirahat di sana. Tanpa dome dan cuma beralaskan matras dan terpal. Beberapa kawan ada yang pribadi tidur. Tetapi saya enggan tertidur. Jaket parasut polar yang saya gunakan sudah tidak kriteria lagi. Dingin terasa sampai menusuk tulang. Akhirnya aku lebih menentukan menghangatkan diri dengan duduk di depan api unggun—yang apinya kerap kali mati.

Sekitar pukul 04.00 beberapa mitra telah bangun. Suara gigil kadang kala terdengar untuk menghangatkan tubuh. Sesaat lalu terdengar bunyi azan dari bawah sana. Subhanallah. Siluet gunung merapi pun telah tampak di selatan. Hamparan langit mahasempurna pun masih tersajikan di atas kami. Hari mulai cerah, kami pun tak lupa mengabadikan pemandangan yang indah itu.

Masak-masak pun dimulai. Saya agak pasif alasannya adalah kedinginan. Saya merasa badan aku tidak fit karena malam sebelum pendakian saya tidak tidur. Awal berangkat ke Selo saja, tubuh saya rasanya mirip turun dari mendaki. Tapi yang penting semangat dan dilandasi niat yang bersih nan kuat. Selanjutnya sarapan dimulai. Nasi+mi+sarden+telur asin..wow gres kali ini naik gunung makan nasi, niscaya bisa menjadi asupan yang bagus untuk tubuh guna melawan rasa cuek.

Setelah beres-beres dan pengemasan, kami melanjutkan perjalanan sekitar pukul 08.00. Dari sana tampakjalur terjal khas jalur memoriam. Kami tak sadar jika kami istirahat di bawah bukit Sabana I alias kawasan Batu Tulis. Kalau kami sadar, mending istirahat di sekeliling kerikil tulis. Tapi enggak apa-apa, walau istirahat di kawasan terbuka, tetapi pemandangannya sungguh mempesona. Perjalanan menuju Batu Tulis, cukup memanaskan kaki, bukitnya cukup terjal.
 Pada kerinduan yang tak sempat terjamah Senandung Ilalang di Wajah Merbabu
Sampai di Sabana I kami berjumpa dengan pendaki lain yang mendirikan beberapa dome di sana. Selanjutnya, kami istirahat sebentar di kerikil tulis. Ternyata batunya sudah terbalik, tidak tinggi mirip dulu lagi. Lanjut perjalanan, sekarang kami disuguhi medan yang terjal dan tak bersahabat. Tapi itu adalah tantangan kami. Otak kanan pun bekerja, sementara otak kiri harus cendekia-berakal menentukan jalur yang paling baik. Sampai di atas bukit, rasa lelah dan nagntuk menghinggapi beberapa teman. Saya yang sudah 30 jam lebih belum tidur, tak mencicipi kantuk sama sekali, mungkin ini imbas minuman pemanis ala Mbah Maridjan yang aku minum. Namun, gara-gara tidak tidur, efek ke badan jadi kurang fit.

Sang leader Djoko pun tak tahan menahan kantuk. Akhirnya, rombongan pun dibagi menjadi 2. Rombongan pertama berisikan Saya, Sigit, Tut-tut, Tyas, Aish, Tambak, Djatmiko, dan Desy berangkat lebih dahulu. Sisanya menjadi rombongan dua yang nantinya diperkirakan akan menyalip rombongan pertama. Perjalanan pun terasa sangat panas dengan mendaki bukit bersemak. Panasnya cukup menyengat alasannya aku salah kostum, yakni kaus lengan pendek. Step by step kami berlangsung. Tak jarang sepuluh langkah berhenti demi mengendalikan napas, dan mending seperti itu ketimbang kelamaan istirahat jadi lama sampai dan membuat badan jadi drop. Sampai di atas bukit, saya menyemangati sahabat-sahabat alasannya adalah kami sudah hingga di Sabana II. Sabana II mengingatkan aku pada pendakian tepat setahun yang kemudian, ketika itu di Sabana II, aku dan ketiga sobat mendaki saya terhalang angin puting-beliung angin. Angin berembus kencang hingga-hingga kami bergandengan tangan saat berjalan menyusuri jalan setapak.
 Pada kerinduan yang tak sempat terjamah Senandung Ilalang di Wajah Merbabu
Memasuki Sabana II lagi-lagi kami istirahat. Tempatnya istirahat seperti taman. Lagi-lagi saya menikmati kentang rebus dan ini adalah yang final. Selanjutnya kami menyusuri jalan setapak ke Sabana II. Dan terpampanglah padang ilalang yang indah, ada juga padang edelweiss di atasnya. Pemandangan yang cantik tentu saja menjadi objek untuk pemotretan..hawakakakakak. Dari Sabana II terpampang jalur membelah bukit yang memanjang. Dan kami pun dengan semangat menelusurinya sampai di atas. Atas bukit tersebut ialah gerbang ke Sabana III. Kami menyempatkan istirahat lagi di sana. Dan dari sana juga terlihat rombongan II telah menyusul sampai di Sabana II.

Kami hingga di Sabana III atau Pos 4 sekitar pukul 11.30. Memasuki Sabana III terpampanglah panorama yang superindah. BUKIT TELETUBIES. Padang rumput menghampar luas dengan dikelilingi bukit yang menghijau. Pas sekali kalau dianalogikan selaku Bukit Teletubies. Ini salah satu keinginan aku mendaki Merbabu untuk kedua kalinya, yakni berfoto-foto di Sabana III alasannya pendakian pertama dulu berkabut tebal jadi Bukit Teletubies-nya tidak terlihat. Saya pun bermain-main dengan padang rumput. Tidur di antara semak rerumputan menjiplak Jejak Petualangan Survival—salah satu program televisi favorit saya.
 Pada kerinduan yang tak sempat terjamah Senandung Ilalang di Wajah Merbabu
Puas berfoto ria, kami pun bergabung dengan rombongan 2 yang sudah menyusul. Rombongan pun lengkap kembali. Perjalanan berlanjut dan kami hingga di ladang edelweiss. Edelweis dengan tinggi 2-3 meter. Sayang, Edelweisnya tidak banyak berbunga dan agak kurang lebat, tak seperti dulu. Dua teman kami terpaksa tidak meneruskan perjalanan. Barang-barang kami pun ditinggal di sana. Kami cuma membawa perlengkapan dan konsumsi seadanya untuk menuju ke puncak.

Perjalanan dilanjutkan. Ini adalah mendaki yang kami namakan Bukit Putus Asa. Kenapa namanya cukup pesimis? Ya alasannya bukitnya sungguh panjang dan mendaki terus, jadi seakan-akan puncak telah bersahabat, padahal perjalanan masih panjang. Saat itu cuaca cerah sehingga rasa lelah terobati pemandangan yang wooooww…….. Bukit-bukit menjulang dengan gagahnya dan kadang kala kabut datang mirip sayap-sayap peri.
 Pada kerinduan yang tak sempat terjamah Senandung Ilalang di Wajah Merbabu
Dan balasannya, sekitar pukul 13.00 (21/5) kami sampai di Puncak pertama jalur Selo, yaitu Puncak Triangulasi. Pemandangannya Waooow…ini tidak saya jumpai pada pendakian pertama setahun yang lalu dikala itu kabut super akut. Kami seolah-olah berada di negeri di atas awan. Selanjutnya, kami menyeberang jalan setapak untuk hingga di Puncak kedua, adalah Puncak Kenteng Songo. Dan di sana pun pemandangan kian indah tak terlukiskan. Sungguh keagungan Tuhan Yang Mahakuasa.

Sekitar Pukul 14.00 kami turun dan sampai di ladang edelweiss sekitar pukul 15.00. Kami pun makan kembali. Setelah makan, salat jamak Zuhur dan Asar, dan pengemasan, Pukul 16.15 kami menetapkan untuk turun. ………………………………………(singkat cerita) kami tak mengambil jalur waktu naik. Setelah batu tulis kami ke arah kiri, yakni jalur resmi yang umum dipakai pendaki. Ternyata jalurnya mulai ancur tererosi ajaran air hujan. Jadi lebih semakin licin. ……….(singkat kisah) kami hingga di basecamp sekitar pukul 22.00. Sungguh perjalanan 24 jam yang mengharubirukan…..
 Pada kerinduan yang tak sempat terjamah Senandung Ilalang di Wajah Merbabu
NB: Gara-gara cuma pakai kaus pendek saat mendaki, tiga hari sehabis mendaki sebagian wajah saya ganti kulit. Seminggu kemudian disusul tangan saya. Hmmm…berasa jadi lebih muda..ha haha. Dan hingga catatan perjalanan ini dibentuk, proses perubahan kulit pun masih berjalan. Dan satu lagi, aku tak memetik bunga edelweiss , biarkan mereka abadi di antara kabut dan embusan angin gunung.