Jumat, 08 Oktober 2021

Wawancara Bersama Ahmad Tohari

 Wawancara dilakukan di rumah Ahmad Tohari Wawancara bersama Ahmad Tohari
Wawancara dikerjakan pada tanggal 16 Februari 2010 dengan narasumber Ahmad Tohari. Wawancara dilakukan di rumah Ahmad Tohari, tepatnya di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. Berikut yaitu hasil wawancaranya.

1. Mengapa dalam novel-novel Bapak banyak mengandung kritik sosial?
Dari permulaan, jadi begini. Hal itu berangkat dari komitmen saya untuk memberikan kontribusi bagi terciptanya masyrakat yang berkualitas yang tatanan sosialnya itu adil, mapan, dan terciptanya rakyat yang diamati hak-haknya. Mungkin ke latar belakangnya alasannya saya dilahirkan kemudian dibesarkan dari masyarakat kelas bawah hingga hal-hal yang menyangkut nilai-nilai dasar, ketidakadilan, seperti kebersamaan, penghargaan kepada manusia itu terus terbawa sejak lahir.

2. Apa latar belakang Bapak mengarang novel Orang-orang Proyek (OOP)?
Itu berangkat dari hal-hal yang real atau faktual. Kalau tidak salah kejadian terjadinya pada Pemilu 1977 atau 1982. Anda tadi lewat satu jembatan, waktu itu sedang dibangun jembatan itu. Lalu ada wakil presiden yang ketua Golkar yang meresmikannya. Kaprikornus sepenuhnya sangat berwarna Golkar dan sungguh plat merah. Saya benci betul itu. Demi kampanye Golkar, jembatan itu teratasi secara tergesa-gesa, prosesnya juga sungguh jelek. Bendahara proyek selalu bendahara Golkar pada kurun itu.


3. Penulisan novel Orang-orang Proyek memerlukan waktu berapa tahun atau bulan?
Pengerjaan Orang-orang Proyek itu kurang lebih tiga atau empat tahun.

4. Kalau Ronggeng Dukuh Paruk, berapa?
Lama sekali, beberapa tahun, mungkin empat tahun.

5. Orang-orang Proyek itu representasi dari apa dan siapa?
Ada. Kalau Orang-orang Proyek ialah representasi ketua partai yang selalu menang, yakni Golongan Lestari Menang (GLM). Itu ialah Harmoko.

6. Kalau tokoh Kabul representasi dari siapa?
Itu karakter yang dibuat. Makara lahir dari idealisme aku. Tapi sebenarnya itu atau latar belakangnya ialah anak aku yang ketiga gres di wisuda di UGM. Teknik Sipil UGM pascasarjana (S2). Saya ingin menasihati para insinyur itu. Lha itu bergotong-royong aku ingin anak aku seperti Kabul. Jadi, lahir dari idealisme. Figurnya malah tidak ada.

7. Selama pembuatan Orang-orang Proyek, apakah Bapak melakukan semacam riset atau hanya konstruksi pengalaman Bapak?
Pengalaman yang dikontruksi, lalu diambil dari rata-rata kejadian-peristiwa di proyek. Selalu begitu, selalu begitu sampai kini. Dan dari proyek apapun. Selalu tidak bermutu. Padahal mereka (insinyur—red) juga bekerjsama tahu apa yang harus mereka lakukan tapi selalu dikhianati. Kamu lihat jalan raya itu (sambil menunjuk jalan—red). Mereka tahu bagaimana menciptakan jalan yang baik.mengapa dikhianati? Kaprikornus mental proyek itu sebetulnya seperti itu. Bahkan Sidang Umum MPR diproyekkan. Keputusan besar diproyekkan. Mau membuatUndnag-undang diproyekkan, cari ruang-ruangnya. Kaprikornus bantu-membantu OOP itu memang kritik aku kepada pelaksanaan hampir semua proyek di Indonesia. Mental proyek itu yaitu mental mencari keuntungan dari suatu aktivitas pembangunan/mencari keuntungan yang tidak benar. Misalnya, seorang pegawai negeri mempimpin proyek. Dia telah digaji untuk itu, tetapi ia niscaya akan berlipat ganda penghasilannya kalau bertingkah mirip itu. Itu tadi semuanya menurut keinginan aku untuk memberi donasi bagi terciptanya masyarakat yang bermutu, penduduk sipil yang adil, jujur, dan hukum yang ditegakkan.

8. Apakah OOP adalah representasi dari Orde Baru (Orba)?
Ya.

9. Apakah bapak menatap hari ini masih seperti itu (masih seperti keadaan di Orba—red)?
Bisa lebih parah. Karena dulu kekuasaan sentralistik maka pusat pemerintahan ada di Jakarta, maka berkumpullah di sana. Sekarang tersebar proyek-proyek. Dengan otonomi daerah maka pemerataan korupsi/pusat-sentra korupsi disebar. Dan saya duka menyaksikan mirip kamu-kamu ini ke depannya. Sampai hari ini belum kelihatan belokan atau pembelokan ke arah yang lebih baik. Ya. Terakhir terdengar ternyata pemerintah tidak memiliki daya apapun untuk menangani kejahatan kapitalisme. Kapitalisme tidak sepenuhnya jelek namun selalu saja mengorbankan lebih banyak didominasi penduduk miskin. Pemerintah sepenuhnya tidak berdaya menangani kapitalisme tadi yang sebenarnya menguasai negeri ini. Saya senantiasa berpikir bagaimana memberi kontribusi untuk kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat. Bagaimana ini? Polisi edan, Jaksa gemblung, hakim kenthir, parpol sableng, SBY kalah dengan Anggoro dan Anggodo. SBY bisa ditekuk oleh Cina-cina itu. Keterlaluan!
Soalnya begni, Anda tahu, Cina-cina itu memberi modal hingga ke tempat. Jadi kapitalis kawasan juga didominasi pemenang SBY. Ketika mereka menagih komitmen uangnya maka dia tidak memperlihatkan begitu saja kan Mesti ada kompensasi.
Nah jadi begini, kamu umurnya berapa? (“(22)” jawab pewawancara). Kamu pun memiliki tanggung jawab untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Jangan meniru generasi saya. Generasi aku itu generasi yang gemblung, kemaruk, manja, sekaligus tolol. Kamu jangan mirip itu. Sambil berlangsung, kau menjadi manusia Indonesia gres. Manusia Indonesia yang wataknya amanah, cukup ilmu, cukup dogma, kerja, dan cukup menyadari bahwa hidup ini bareng dan berkesinambungan. Ada saya, ada kau, anak-anakmu, terus begitu. Dan itu memerlukan keadaan-kondisi tertentu. Kalau terputus garis itu. Habis kita.
Nah karena aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa, itu seluruh karya tulis saya itu yaitu kesepakatan untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Intinya yaitu membela kaum yang lemah alasannya adalah mereka yang paling mayoritas. Maka aku membuat jadwal kecil. Kalau begitu aku hanya mampu berusaha untuk membuat penghuni rumah ini, yaitu aku, istri, dan bawah umur saya menjadi manusia Indonesia yang berlawanan dengan yang lainnya. Saya tidak mau korupsi. Kalau saya menerima sesuatu, itu karena aku sudah memperlihatkan sesuatu.

10. Makara, apakah hal ini menjadi bentuk lain dari khotbah Bapak?
Khotbah formal di masjid malah aku hindari. Khotbah aku ini ya begini. Khotbah Jumat itu. Tidak. Saya menghindari betul dari khotbah-khotbah semacam itu. Tapi aku ingin membangun budi pekerti dan aksara insan Indonesia. Ya, semua kan orang-orang idealis, seperti Rasus, Tampi, Kabul, semua itu orang-orang idealis. Lahir dari idealisme. Negara kok tidak pakai idealisme, bagaimana ini? Harus idealis. Pragmatis semua. Yang penting untung, mampu gaji, makmur, tapi orang lain terserah. Negara gemblung ya kayak gitu.

11. Menurut Bapak, siapakah tokoh-tokoh yang Bapak anggap idealis?
Kalau di sini, bahwasanya pada mulanya sarat dengan orang idealis seperti Bung karno, Hatta, Sultan Syahrir, Tan Malaka, Abdul Wahid Hasyim. Yang merusak idealisme adalah Soeharto. Soeharto yakni orang kolot dan tidak berpendidikan. Dia itu anak Sekolah Menengah Pertama. Dia cuma mengerti bagaimana menembak orang dengan bedil. Lalu konsep yang beliau miliki perihal kekuasaan yakni kekuasaan Mataram. Dia terapkan persis saat memerintah. Tiga puluh tahun beliau membiarkan negeri ini menumbuhkan budaya korupsi. Sekarang, kamu lihat yang namanya Tomi, Bambang Triatmojo pernah kerja apa? Uangnya trilyunan. Bangsat! Uang siapa? Uang nenek moyang kamu itu. Uang rakyat. Nah kalau Pak Harto begitu, maka semua panglima meniru, ya kan jika panglima begitu, Kodam begitu, gubernur begitu, Kapolda begitu, hingga ke tingkat masyarakat. Kamu percaya ini, kantor pajak setor ke kantor pajak yang lebih tinggi. Nanti Dirjen pajak setor ke Istana, persis mirip Mataram. Itu pajak. Semua begitu. Bank begitu. Nah jadi ini yang membuat masyoritas penduduk kecil itu tidak pernah menikmati kemerdekaan alasannya bantu-membantu kita belum pernah merdeka. Kamu kira kamu telah merdeka. Kaprikornus, kita dikala ingin merdeka, kita mengandaikan bahwa konsep kekuasaan itu berganti dari kekuasaan sewenang-wenang kerajaan menjadi kekuasaan daulat rakyat atau demokrasi di mana orang berkeluarga itu sebab merasa menerima mandat dari pemimpin. Tapi ternyata saat sudah merdeka, dari presiden sampai ketua RT merasa menjadi priayi. Kelihatan kan? Kurang latih betul. Jadi menikmati kekuasaan selaku milik langsung, padahal yang dulu dicita-citakan adalah kekuasaan itu amanat dari rakyat. Kaprikornus yang namanya public servent/pramusaji rakyat itu: pegawai, tentara, polisi, bupati, itu melayani penduduk . Eh ternyata masih seperti penduduk mereka priayi, kita wong cilik. Ya kurang didik itu. Buat apa negeri ini jadi republik? Jadi kerajaan Indonesia saja kenapa?

12. Di dalam RDP maupun OOP selalu diceritakan perihal komunis, apa latar belakang dari duduk perkara tersebut?
Ya karena bekerjsama stigma kepada komunis terlalu berat. Kaprikornus sehabis peristiw 65, Soeharto kan benar-benar mencuci habis yang namanya komunisme. Kaprikornus orang-orangnya dibunuhi, kalau tidak dieksekusi anaknya dihindari, cucunya saja sampai buyutnya dilarang untuk menjadi pegawai negeri. Sampai Gus Dur lah itu. Di kampung ini, jika cucu seorang yang terlibat komunis, pengen jadi perangkat desa, susah sekali. Gila! Padahal itu kan cucu. Traumanya kan aku itu begini. Tahun 1965 itu aku telah Sekolah Menengan Atas kelas dua. Makara saat terjadi ricuh itu, terjadi pembakaran rumah-rumah, pembunuhan, saya sudah sungguh cukup umur, sudah sangat bisa merekam sampai ke dasar hati. Semua orang benar-benar asing itu. Rumah mampu seenaknya dibakar. Dan ramai-ramai itu. Orang yang membakar itu penduduk , walau memang itu diprovokasi, yang memprovokasi yakni tentara. Makara, saya bilang ‘nggak bener ini, ini nggak bener’, tapi jiwa aku kan berontak terus dari tahun 1965 hingga RDP ditulis tahun 1980. Sampai lima belas tahun jiwa aku berontak terus. Jadi, bahu-membahu begini. Tahun 1966 saya selesai Sekolah Menengan Atas. Kemudian mulai tahun itu aku menunggu adanya atau terbitan apalah yang mengupas insiden tahun 1965 itu. Bayangkan! Tahun 1965 sampai tahun 1980 tidak ada satu pun novel Indonesia yang berani bicara. Makara saya pionir dan termasuk asing. Tahun 1980 berani. Berani betul kalau tiba-datang peluru di kepala? Makanya saya punya taktik Rasus selaku prajurit. Kalau Rasus itu orang sipil atau guru, aduh, prajurit mampu marah betul itu. Kapten Mortir yang bagus hati yang juga tentara, walaupun yang mencacah-cacah Srintil juga prajurit. Itu salah satu cara biar RDP mampu terbit. Itu pun aku terpaksa diundang oleh serdadu.
Itu, jadi ada repetisi masalah PKI, lagi-lagi yaitu akad saya kepada nilai-nilai kemanusiaan. Lha jikalau orang PKI telah dihukum begitu berat tapi tidak berkesudahan itu kan tidak adil. Yang terlibat PKI itu bapaknya, kenapa hingga anak cucunya dieksekusi. Itu kan betul-betul tidak adil. Ya banyak kisah-cerita nyata yang menciptakan aku itu makin trenyuh. Ada sahabat, sobat lebih muda dari saya, perempuan, elok. Dia jadi guru. Setelah bapaknya tahun 1965 dinyatakan terlibat, pacarnya meninggalkannya, tak ingin jadi mantu orang PKI. Karena dia memang elok, tiba lagi pacar yang kedua. Setelah tahu sejarah ayahnya, ditinggal lagi. Yang terakhir malah tentara, ya itu, meninggalkan lagi hingga tiga kali senantiasa ditinggalkan. Akhirnya, sobat aku ini nggembor (menangis). Menangisnya itu mengutuk ayahnya.
Hal-hal semacam itu banyak yang saya alami. Karena aku memang saksi mata dan saksi sejarah. Itu yang risikonya terlalu besar lengan berkuasa jadi adakala tanpa sadar terulang atau terepetisi lagi. Nah, sebelum ini kau sudah baca Kubah? Pertama malah Kubah. Kubah itu menceritakan ihwal orang yang gres pulang dari pulau Buru.

13. Apakah di dalam OOP, tokoh Pak Tarya yaitu ejawantah dari Pak Ahmad Tohari?
Ya, banyak yang menimbang-nimbang seperti itu. Ya, kadang kala saya memang bersembunyi dalam diri satu karakter. Terutama soal mancing. Saya memang kegemaran mancing. Saya sungguh menikmati suasana mancing. Saya itu pemancing sejati. Tidak harus mampu ikan. Dan mancing itu tidak untuk mencari ikan.
Seperti banyak hal, kita makin bersahabat dengan alam, kedua, mendapat ketenangan ketika berada di erat genangan air. Bahkan sampai ke gagang pancing. Walesan. Walesan itu kan lurus tetapi elastis, tidak mudah patah. Itu bila jiwa manusia seperti itu, cantik sekali kan Lurus, jujur, lentur, tidak kaku, tidak frustasi dan tidak wagu alasannya elastis itu fleksibel.

14. Di dalam OOP ada semacam anekdot-anekdot? Apakah hal itu hanyalah anekdot belaka atau merupakan kenyataan?
Itu sungguh-sungguh itu, sobat aku itu abnormal benar itu. Teman mancing aku itu sesungguhnya tukang kerikil. Istrinya itu buka warung kecil-kecilan. Orang buka warung itu kan orientasi labanya besar sekali kan? Melihat suaminya saben Minggu mancing, buat apa buang-buang nyewa perahunya saja mahal, bensin mesti dibiayai, belum pasti mampu. Istrinya itu marah melarang suaminya mancing. Sangat logis kan? Gila itu! “Kalau saya pilih kamu atau walesan, aku pilih walesan” dan itu benar.
Saya juga mancing tapi tidak hanyut mirip itu. Satu lagi. Ini di sini, kemudian di Jakarta. Di Jakarta dulu, ada namanya Komplek Senayan. Dulu ada namanya Taman Ria Senayan. Sekarang jadi Perhutani. Di sana ada bak pemancingan. Kaprikornus setiap Minggu pagi sarat orang mancing. Itu tahun 1980-an. Itu ada orang jadi pegawai. Saben Minggu harus mancing. Pada waktu itu, beliau telah di situ sedang mancing. Belum lama telah disusul alasannya keponakannya meninggal. Ia mengatakan “Wong meninggal saja kok milih hari Minggi, mbok pilih hari kemarin atau besok kan boleh”

15. Bagaimana balasan Bapak perihal mitos yang ada dalam OOP?
Ya, aku kan orang rasional, Islam lagi. Jadi saya sungguh tidak yakin. Tapi faktanya itu, misalnya di situ ada jembatan gantung atau talang. Jembatan gantung/talang irigasi, namun itu tersier, sekunder malah, jadi cukup besar. Ketika itu dibangun, seluruh traktor, mesin-mesin dibunyikan semalam suntuk. Itu orang-orang percaya bahwa anak talang itu harus diberi bandul yang sangat besar supaya tidak hanyut. Orang yakin dan tidak mampu digugat, dikala ngecor itu ada manusianya. Itu menjadi kisah umum. Setiap jembatan juga begitu katanya. Cuma aku sendiri mengatakan hal itu cuma mitos. Kalau nggak dikerjakan itu pun bahwasanya nggak apa-apa.

16. Kembali soal politik. OOP representasi dari Pemilu 1982. Kenapa di dalam novel latarnya adalah 1991?
Tidak mesti ganti. Ini enaknya nulis novel, membebaskan bahan dari ruang dan waktu. Misalnya itu terjadi di Boyolali tapi seakan-akan terjadi di Banyumas nggak apa-apa kan Yang penting esensinya, bukan tempat dan waktunya. Yang terperinci pada waktu itu Harmoko ada.

17. Apa pandangan politik Bapak pada waktu itu?
Jadi saya itu orangnya hanya sekali ikut pemilu, yakni dikala PPP gres ikut. Kalau tidak salah tahun 1971 atau tahun berapa, apa 1977. Waktu itu sebagai orang yang cukup muda, aku 29 tahun. Waktu itu kan ada orang NU, orang Muhammadiyah, segala eksponen itu masuk ke dalam PPP. Partai benar itu. Tapi sehabis itu aku kecewa dan Golput sampai sekarang. Kaprikornus bila aku memilih contohnya orang legislatif itu sebab penduduknya bukan partainya.

18. Apakah Bapak dilahirkan si keluarga pesantren?
Jadi begini, keluarga saya itu punya pesantren, namun pesantren kecil. Saya lahir di situ. Ketika lahir, ya aku sudah mendengar orang mengaji. Tapi saya sendiri malah masuk SMP. Dulu itu didaftarkan PGA tetapi setelah didaftarkan Bapak, Bpak pulang dan saya lari ke Sekolah Menengah Pertama. Sekolah Menengah Pertama-nya itu di kota. Untuk beberapa bulan, Bapak tetap menduga aku sekolah di PGA, padahal saya sekolah di SMP.
Jadi wawasan atau pengalaman keagamaan saya memang benar-benarbenar namun tidak secara formal, sebab adalah aku cuma ikut ngaji. Mendengar orang mengaji hampir 24 jam. Kemudian alasannya adalah Bapak saya tokoh NU, jadi menyelenggarakan pengajian-pengajian lalu menghadirkan tokoh-tokoh. Waktu aku kelas satu SMP, bapak aku menghadirkan Fuad Hasyim, dan satu lagi dari Blitar. Itu terkenal itu siapa. Jadi aku belajar sambil lalu. Baru kemudian sehabis remaja baca buku-buku agama yang kitab putih bukan kitab kuning. Bergaul dengan orang-orang nyentrik, ya Cak Nur, Gus Dur, Cak Nun. Jadi pikiran saya berkembang di sana.

19. Jadi Bapak dekat dengan Cak Nur dan Gus Dur?
Ini seluruhnya. Ini saya dengan Gus Dur terakhir kali. Ini Gus Dur dua bulan sebelum meninggal. Ini di rumah Gus Dur (sambil menawarkan foto). Ini aku. Ini rombongan aku. Ini, bahagia tidur di sini Gus Dur itu.

20. Menurut Bapak, apa yang Bapak kagumi dengan sosok dan fatwa Gus Dur?
Dia insan yang sesungguhnya. Saya kira insan yang bahwasanya ya manusia mirip Gus Dur. Memberi kecintaan pada siapapun, melindungi siapapun, menolong siapapun dan tidak pernah merasa lebih tinggi dari siapapun. Makara Gus Dur itu kepada siapapun dekat. Jadi beginilah, manusia ini ahli sekali.

21. Kalau persepsi tentang Cak Nur atau Cak Nun?
Boleh dua-duanya, Cak Nur aku kenal, Cak Nun saya kenal. Sebetulnya sama, satu fatwa hanya warnanya pasti berbeda karena setiap insan kan satu lingkup. Satau individu sendiri. Semuanya yakni insan-insan yang sangat menghormati orang lain. Hanya memuliakan Tuhan. Tidak memuliakan apapun tergolong dirinya sendiri dan sungguh mencita-citakan kehidupan yang harmonis, demokratis, dan memberi hak kepada siapapun untuk mengaktualisasikan diri, mirip itulah orang-orang yang pintar. Cuma warnanya memang beda.

22. Bapak selain sastrawan juga sekaligus budayawan. Siapa tokoh yang mempunyai persepsi visi dan misi yang serupa dengan Bapak?
Ya kini ini saya merasa ya contohnya Muhammad Syafari. Dulu Rama mangun, kini rama-rama berbagai yang kenal dengan saya. Satu ajaran dalam artian ingin memuliakan manusia. Kalau telah begitu, aku tidak pandang agama.

23. Bagaimana dengan Kuntowijoyo atau Umar kayam?
O… iya, itu aku sering ketemu. Kuntowijoyo atau Umar kayam dalam satu sisi sama dengan aku, ialah ingin mengubah kepriayian. Kepriayian itu mengandaikan ada satu lapis seseorang yang derajatnya lebih tinggi ketimbang orang lain. Itu saya tidak setuju. Gini. Ini aliran budaya yang sungguh fundamental. Ada kalimat dalam Bahasa Indonesia berbunyi “Mbok Sarikem pergi ke sawah berpas-pasan dengan Ibu Camat yang akan pergi ke kota”. Jika diucapkan dalam bahasa Jawa yang benar, maka begini “Mbok Sarikem kesah dateng sabin papagan kalian Ibu Camat ingkang badhe tindak kitha”. Selain itu salah. Makara Mbok Sarikem kesah, Ibu Camat tindak. Itu telah persyaratan bahasa jawa, jika tidak begitu, salah. Mengapa mbok Sarikem “kesah”? Karena beliau petani. Mengapa Ibu Camat “tindak”? Karena perginya ke kota. Jadi priayi. Perlukah dipertahankan contoh bahasa mirip ini?
Bab pedoman budaya seperti itu keharusan saya serta anda-anda itu. Saya sungguh mengkritisi kebudayaan Jawa yang serta merta dibilang Adiluhung. Nanti dululah, apanya yang adiluhung. Saya juga Jawa kok, walaupun pingiran. Sama jawanya dengan mereka yang lahir dalam beteng. Jadi hak aku sama.
Jadi Umar kayam dengan Para Priyayi dan Si bawuk, itu kan bekerjsama agak sinis. Dia kan orang Jawa pinggiran, Ngawi. Yang lebih vulgar malah Rendra. Rendra lahir dari penari keraton Surakarta. Waduh, kritiknya kepada Jawa habis-habisan. Rama Mangun juga. Kalau Rama Mangun orang Ambarawa.
Itu, jadi itu kesamaan dengan mereka. Jadi banyak para budayawan Jawa karena tanggung jawabnya ingin membangun kembali/membangun yang gres dan meninggalkan yang lama.
“Sarikem kesah, Ibu Camat tindak”, lho itu gimana? Untuk negara demokrasi nggak boleh ada seperti itu. Apalagi kalau dipikir secara sosiologis. Bu Camat kan hidup dari APBD. Makara, ia hidup dari duit rakyat kan? Lha rakyat dengan kerja dengan keringatnya sendiri. Apalagi yang namanya petani atau wong cilik itu nyaris senantiasa memberi subsidi kepada yang di atasnya. Produksi pertanian selalu berlimpah. Milik petani ditukar murah dalam industri. Buruh diberi upah lebih hemat biaya dari aslinya.
Ada gula kelapa, kini harganya enam ribu. Mereka itu menjual kepada tengkulak itu tidak punya nilai atau daya tukar sedikitpun. Jadi yang menentukan harga gula itu pembelinya atau tengkulak. Petaninya yang bertaruh nyawa: ini saya jual gula, dia timbang. Ooo ini kelas tiga.
Tapi kini ada krisis kesastraan di mana karya sastra ini lebih didominasi sastra yang berwarna individualisme, cerita-dongeng pribadi, perseorangan, secara umum dikuasai betul, bila zaman saya itu justru diwalik, yang lebih banyak didominasi itu karya-karya yang bernuansa sosial.

24. Apakah latar pendidikan yang berganti-ganti turut ikut andil dalam proses kreatif karya-karya Bapak?
Benar. Itu jelas ada pengaruhnya. Kaprikornus aku begini, saya ini kan lahir dari keluarga pesantren. Makara ada latar belakang agama. Kemudian masuk SMP. SMA bagian B, bab eksakta. Biologi. Kaprikornus warna biologi dalam novel aku itu cukup banyak. Kemudian juga pernah masuk Sosial Politik, jadi buku-buku elementeri tentang politik aku baca. Pernah juga masuk bagian ekonomi. Jadi teks-teks elementeri perihal ekonomi saya baca. Tapi bekerjsama lebih dari itu begini, mengapa saya jadi pengarang alasannya adalah aku tidak bercita-cita. Cita-cita aku yakni dokter kok. Sebetulnya lebih alasannya adalah sebuah suasana yang kebetulan. Kebetulan kok aku berbakat, berhobi membaca. Itu belum sekolah. Kaprikornus belum masuk SD aku telah bisa membaca. Bapak saya itu juga orang yang luar biasa. Bapak saya itu orang yang final Sekolah Dasar lima tahun ketika zaman Belanda. Ketika merdeka, menjadi pegawai KUA, sekaligus menjadi tokoh partai NU. Bapak aku itu langganan koran NU yang namanya Duta Masyarakat semenjak tahun 1953. Gila! Itu kan lompatan luar mampu. Tahun 1953 sampai sekarang 2010. Berarti 57 tahun kan itu? Sekarang saja tidak ada sepuluh orang yang berlangganan koran di sini. Dari situ aku telah berkenalan dengan abjad. Kaprikornus mulai terlitera, sampai ketika ini. Jadi jikalau bapak pulang itu yang aku tunggu korannya. Korannya itu telat sepekan alasannya adalah melalui Pos. Jadi jika terbit tanggal satu, datang di sini tanggal tujuh.
Mulai lalu alasannya adalah suka membaca, ketika SD itu aku mampu berkenalan dengan cara meminjam komik-komik Mahabarata. Dulu itu 48 jilid. Tamat aku baca. Dan itu Ramayana 36 jilid aku baca. Dan itu Mahabarata dan Ramayana yang benar dari kitabnya R.A. Kosasih. Saya final sudah. Bayangkan itu telah kayak apa, telah isi apa otak aku itu masih SD padahal itu. Tambah-tambah saat saya SMP kan ke Kota Purwokerto, di SMP negeri 1 itu. Sekolah Menengah Pertama sisa zaman Belanda. Saya masih menemukan beberapa novel klasik seperti Salah Asuhan, Azab dan Sengsara, masih dapat dilihat di perpustakaan lalu mampu ditambah lagi berkenalan dengan guru, sebenarnya dia guru gambar. Dia tidak menikah tetapi suka sastra. Rumahnya kelewatan bila pulang sekolah. Jadinya sering mampir. Kaprikornus aku SMP itu saya kira semua novel klasik sudah aku baca: Keluarga Gerilya, Dari Avemaria ke Jalan lainnya, semua tak baca di rumah orang itu. Pak Guru. PKI. Dan meletus tahun 1965, aku sudah Sekolah Menengan Atas. Dia hilang. Jasanya besar sekali pada aku. Dari situ juga aku baca sastra kiri: Pramudya, Sitor Situmorang, terjemahan sastra-sastra kiri dari Amerika Latin aku baca di situ. Itu Sekolah Menengah Pertama, bayangkan! Sudah puluhan novel saya baca. Dulu mungkin ratusan. Tapi aku tetap kepengen jadi dokter. Sekolah Menengan Atas aku mulai membaca buku-buku terjemahan, ya sastra umumya, buku-buku populer, dari buku-buku psikologi, ekonomi, sejarah, aku baca. Ketika menulis RDP maupun yang yang lain, kelihatan itu kan. Resensinya kelihatan meskipun tidak disebutkan sumbernya. Kelihatan jejaknya. Makara aku bantu-membantu diajari menjadi pengarang oleh ratusan orang yang bukunya saya baca itu. Berdiri secara tidak langsung. Kan gini, tadinya kenapa saya itu mulai intensif mengarang.
Saya masuk fakultas kedokteran tahun 1870. Terpaksa DO (Drop Out), karena ekonomi tidak mendukung. Adik saya ada delapan. Jadi tidak mungkin, ego ya? Okelah aku berhenti. Saat itu aku mulai kebingungan mau apa. Makara sehabis di DO dari fakultas kedokteran gres mau nulis dan bisa secepatnya terbit tahun 1971.

25. Di dalam RDP maupun OOP, Bapak selalu menceritakan ihwal wayang, bagaimana relevansinya dengan pengalaman?
Saya menguasai wayang alasannya saya tadi membaca komik Ramayana dan Mahabarata. Secara fisik saya sering nonton wayang. Kaprikornus Si Rasus kan saat berperang, Rasus kan di Kalimantan Barat melawan Paraku. Paraku itu tentara komunis Kalimantan, namun itu disersi-disersi dari tentara kita. Jadi dikala dia menembak musuh, ternyata malah itu orang Banyumas. Ketika aku mampu menembak saya merasa: serdadu Amarta yang akan membela negaranya, tetapi yang saya bunuh orang Banyumas juga itu. Jadi mulai gundah juga saya ini. Dengan rancangan Gatot Kacanya. Maksudnya begitu di RDP. Akhirnya dia bilang: ah jika begitu aku memang orang yang tidak berbakat jadi serdadu alasannya terlalu lemah, terlalu berbelaskasihan sama orang.
Ketika di OOP ada wayang yang diharapkan politisasi cuma wayang yang ketika itu ada lakon Semar Kembar Tiga (yang dimaksud narasumber yaitu Gatotkaca Kembar Tiga—red). Ada yang berbaju merah itu PDI, yang hijau PPP, yang benar itu Semar yang berbaju kuning, tentu saja Golkar.

26. Latar OOP ada di sekeliling Sungai Cibawor, apakah memang ada Sungai Cibawor itu?
Tidak ada. Tapi itu menawarkan wilayah Banyumas karena Bawor itu mampu dikatakan lambang Banyumas. Jadi itu hanya untuk menunjukkan bahwa setting yang dimaksud ialah di Banyumas.

27. Bagaimana bila latar RDP?
Iya Eling-eling Banyumas. Eling-eling kan lagu yang populer (di Banyumas—red).

28. Kalau latar Dawuan, itu bagaimana?
Kalau Dawuan itu nama lazim, di mana-mana ada nama Dawuan. Ya sesungguhnya begini Mas, dalam wangsit aku itu, RDP itu memang ada lokasinya. Lokasi yang menjadi contoh, meskipun tidak sepenuhnya sama. Itu daerahnya, ada suatu daerah yang disebut, namanya Pekuncen. Pekuncen itu tujuannya ialah daerah juru kunci karena di sana ada makam. Makam Banatuling alasannya makam itu sangat dihormati. Banatuling itu tokoh setempat yang sangat dihormati. Orang-orang itu kan masih berbeda dengan yang lain. Islam ya Islam, tapi masih ada kejawennya. Sekarang masih ada, walaupun mulai tererosi juga, sebab banyak pemudanya yang keluar, ke Jakarta. Lama-lama ya akan hilang. Nah itu, jika dari Pekuncen mau ke Pasar Jatilawang akan melalui gang panjang. Kaprikornus seperti Dukuh Paruk. Mau keluar ke Dawuan itu kan mulai gang panjang. Tetapi ya sekarang susah karena itu kan pelukisan tahun 1960-an di mana waktu itu di Pekuncen itu boleh dibilang tidak ada rumah yang beratap genteng. Semuanya beratap ilalang. Rumah aku pada tahun 1950 masih ilalang kok. Kalau kini dilacak kembali, susah. Kecuali fisik makamnya tidak banyak berganti sama sekali sebab di sana orang tidak berani menebang pohonnya, bahkan tidak berani memperabukan kayunya. Kalau ada ranting kering itu tidak berani dibakar.

29. Bagaimana persepsi Bapak tentang kearifan setempat?
Ya jadi itu dalam pengajian-pengajian itu saya sering mendengar bahwa yang namanya Nabi atau utusan itu kan ribuan. Ada yang mengatakan 24 ribu, namun yang wajib dimengerti oleh orang Islam hanya 25. Juga ada satu ayat yang mengatakan setiap tahun pernah diberi satu delegasi yang memberi jalan kebenaran. Kalau setiap tahun, pastinya pemahaman kita kaum Jawa pun pernah. Makanya tidak aneh kalau di Jawa pun ada keraifan-kearifan perihal kekuasaan yang kuasa bahwa adanya Sang Pencipta, adanya aturan-hukum yang terstruktur di alam, di dunia ini sudah pernah Tuhan menunjukkan orang untuk memberi tahu terhadap manusia. Juga memperlihatkan dan mengajarkan aturan-aturan. Misalnya aturan-aturan untuk hidup bersama. Hukum-hukum untuk menghormati air, aturan untuk membela kebenaran, alasannya paradigma kebenaran sudah diberikan dikala agama besar itu ada. Maka aku sungguh menghargai kehidupan kearifan setempat yang menurut doktrin aku dari Tuhan kita juga. Yang dulu disampaikan dengan syariat yang belum mirip kita kini. Maka orang Jawa di mana pun pasti menghargai kebersamaan menghargai kebenaran. Mesti senantiasa kesalahan senantiasa ditolak.
Sebenarnya tidak ada kelokalan yang terpisah dari keuniversalan. Kearifan setempat itu sesungguhnya pun bagian dari kearifan universal. Pasti iya. Dengan syariat-syariat yang setempat bergotong-royong kita orang Jawa tidak dibenarkan oleh tradisi untuk memangkas pohon lebih dari satu kali setahun. Harus ganti tahun lagi, baru boleh, yakni pada periode-masa bau tanah.
Dulu, menjala ikan itu pada hari Senin dan Kamis. Lainnya dilarang. Itu kan kearifan lokal. Ternyata sekarang ternyata kebenarannya. Sekarang kan telah over fish/ terlampau banyak ikan yang dijaring, di bahari maupun di sungai. Stok telah sungguh berkurang alasannya kita telah meninggalkan kelokalan tersebut. Agama Islam tidak berkata seperti itu to? Tapi apakah yang lokal itu salah? Buruk? Ya, tidaklah. Memang di dalam agama itu tidak ada perumpamaan: kamu di larang menjala ikan selain hari ini tau itu. Tapi kita bisa menertibkan sendiri kearifan itu.

30. Akan namun, bagaimana kalau hal-hal tersebut dihubungkan dengan mitos-mitos yang syirik?
Iya, aku juga suka menentang orang-orang mirip itu. Brengsek! Merasa sok yang paling benar. Kamu tahu musuhnya syirik itu apa yang paling utama? (diri sendiri). Iya, jadi bukan dilema keris atau apa seperti itu. Kaprikornus dikala kita merasa menjadi objek yang mulia. Kamu bila berhadapan dengan gelandangan merasa lebih mulia kan? Itu salah. Itu syirik. Kamu telah mempertuhankan dirimu sendiri. Kembali ke Gus Dur. Gus Dur yaitu seorang yang sangat menjaga syahadatnya. Syahadat kan kesaksian “Tiada Tuhan selain Illah”” kompensasinya apa sih? Konsekuensi yang tepat adalah tunjukkan kau tidak meng”ïllahi”kan dirimu sendiri. Bukan kamu mempertuhankan berhala. Iya, tetapi itu nomor kesekian. Pertama yaitu apa kamu mempertuhankan dirimu sendiri? Tidak. Nah, kemarin saat Gus Dur meninggal, saya menulis di Jawa Pos Jawa Timur. Gus Dur tiba di sini, tidur di karpet. Padahal tahun 1995 posisinya ketua lazim PBNU. Karpet saya kan karpet murahan yang tidak pernah disedot. Kemudian kenapa bisa begitu? Saya menafsirkan tindakan Gus Dur itu sebagai tindakan orang yang menjaga syahadatnya, yakni tidak menganggap dirinya mulia, sebab hanya Tuhan yang tahu. Saya pikir ke belakang itu ya Kanjeng Nabi suka tidur di lantai rumahnya yang berlantai tanah, hanya beralaskan tikar daun kurma. Hingga ketika berdiri tidur ngecap itu lidi-lidinya. Hal itu ditangisi oleh sahabat-sahabatnya. Nabi adalah orang yang paling mempertahankan syahadatnya. Tidak akan menghendaki kemuliaannya.
Masih ada satu lagi. Pernah mendengar cerita Umar bin Khattab? Umar Bin Khattab itu sudah Amirul mukminin, kemudian dilapori itu di sana ada janda sedang kelaparan hingga-hingga dia merebus batu biar anaknya diam. Ketika dilapori begitu, Umar Bin Khattab berangkat sendiri mengantarkan sumbangan untuk janda. Kenapa? Tafsiran saya mirip itu, karena Umar menjaga syahadatnya sehingga tidak berani merasa lebih mulia dari seorang janda yang kelaparan. Syahadat membuat seseorang itu merasa tidak mulia. Merasa sama dengan orang lain. Tapi dihentikan merasa lebih rendah. Hati-hati. Tidak boleh.

foto diambil dari: http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/tohari_files/image001.jpg