Jumat, 08 Oktober 2021

Implikatur Dalam Kolom “Mr. Pecut” Jawa Pos

Oleh: Andi Dwi Handoko dan Ristyowati 

ABSTRAK
“Mr. Pecut” yaitu salah satu judul kolom dalam surat kabar Jawa Pos. Bahasa yang digunakan di kolom ini bersifat implikatif sehingga mampu menjadi suatu kajian yang menarik. Implikasi pada bahasa kolom ini mengakibatkan imbas tertentu bagi khalayak yang membacanya. Kolom ini lebih menekankan bahasa yang menyatakan sindiran pada pihak-pihak tertentu. Sindiran ini tidak disampaikan langsung tetapi disampaikan secara tersirat. Untuk mengetahui implikatur pada kolom ini pembaca juga harus mengetahui konteks yang menyertainya. Humor juga ditekankan pada penggunaan bahasa di kolom ini. Sindiran-sindiran yang dipakai pada kolom ini kadang-kadang menjadi sebuah hal yang lucu. Tulisan ini akan membicarakan ihwal implikasi-implikasi menurut konteksnya yang terdapat pada kolom “Mr. Pecut” surat kabar Jawa Pos. Pengambilan sampel dikerjakan pada final Maret 2009.

Kata kunci: pragmatik, implikatur, konteks.

PENDAHULUAN
Pragmatik ialah subdisiplin linguistik interdisipliner yang tidak hanya terbatas pada kerangka teori saja tetapi merupakan ilmu yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Pragmatik cenderung mengaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme dari pada ke arah formalisme. Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari dapat dimengerti dengan menganalisis bentuk-bentuk penggunaan bahasa baik secara mulut maupun goresan pena yang berwujud tuturan. Menurut Cruse (dalam Louise Cummings, 2007:3) pragmatik mampu dianggap bermasalah dengan aspek-aspek gosip (dalam pemahaman yang luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima 
secara biasa dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, tetapi (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks daerah penggunaan bentuk-bentuk tersebut [pementingan ditambahkan].

Dalam tulisan Tri Sulistyaningtyas, Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik, adalah (a) bidang yang mengkaji makna pembicara; (b) bidang yang mengkaji makna berdasarkan konteksnya; (c) bidang yang melampaui kajian ihwal makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasi-kan oleh pembicara; (d) bidang yang mengkaji bentuk verbal berdasarkan jarak sosial yang menghalangi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Bahasa ialah alat pertukaran info, tetapi kadang kurun informasi yang dituturkan olah komunikator mempunyai maksud terselubung. Oleh sebab itu setiap manusia mesti dapat mengerti maksud dan makna tuturan yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini tidak hanya sekedar mengetahui apa yang telah diujarkan oleh si penutur namun juga konteks yang dipakai dalam ujaran tersebut. Kegiatan seperti ini akan mampu dianalisis dan dipelajari dengan Pragmatik

Dalam kajian ilmu pragmatik juga dibahas perihal implikatur. Bahkan implikatur disebut-sebut selaku inovasi yang mengagumkan dan mengesankan dalam kajian ilmu pragmatik. Hal ini layak dinilai kebenarannya alasannya adalah pada penggunaan bahasa di kehidupan sehari-hari sering terjadi salah paham (misunderstanding) yang menimbulkan maksud dan info dari sebuah ujaran tidak tersampaikan dengan baik. Masalah–persoalan seperti ini yaitu kajian pragmatik yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Dapat kita ketahui berapa banyak macam penggunaan bahasa yang bersifat implikatif mirip iklan, kolom-kolom di surat kabar, SMS, tindak tutur dalam telepon, bahkan tindak tutur yang terjadi secara eksklusif antara dua orang. Untuk mengetahui bentuk-bentuk bahasa yang implikatif perlu adanya pengajian dan analisis yang mendalam. Selain itu, dalam mengaji dan menganalisis membutuhkan kepekaan dengan konteks yang melingkupi insiden kebahasaan itu.

IMPLIKATUR DAN KONTEKS
Konsep ihwal implikatur kali petama dikenalkan oelh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan duduk perkara perihal makna bahasa yang tidak mampu teratasi dengan teori semantik biasa. Brown dan Yule (dalam Rani dkk 2006:170) menyampaikan bahwa implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang dianjurkan atau apa yang dimaksud oleh penutur selaku hal yang berlainan dari apa yang dinyatakan secara harfiah. 

Suatu rancangan yang terpenting dalam ilmu pragmatik dan yang menonjolkan pragmatik selaku sebuah cabang ilmu bahasa yaitu rancangan implikatur percakapan. Konsep implikatur ini digunakan untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasi”. Sebuah ujaran mampu mengimplikasikan proposisi, yang bahwasanya bukan merupakan bab dari ujaran tersebut dan bukan pula ialah konsekuensi logis dari ujaran.

Dapat didefinisikan bahwa implikatur yakni maksud yang tersirat dalam suatu ujaran. Kadang era sebuah ujaran sulit mendapat pengertian karena menyembunyikan sebuah maksud tertentu. 
Levinson (dalam Rani dkk, 2006:173) mengemukakan ada empat kegunaan desain implikatur, adalah:
1. mampu memperlihatkan klarifikasi makna atau fakta-fakta yang tidak terjangkau oleh teori linguistik.
2. dapat menawarkan sebuah penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa.
3. mampu menunjukkan pemerian semantik yang sederhana perihal kekerabatan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.
4. dapat memerikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berhubungan, malah berlawanan (seperti metafora).

Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan bermakna suatu ketidaksengajaan atau tidak mempunyai fungsi tertentu. Penggunaan implikatur dalam berbahasa mempunyai pertimbangan seperti untuk memperhalus tuturan, mempertahankan etika kesopanan, menyindir dengan halus (tak eksklusif), dan mempertahankan supaya tdak menyinggung perasaan secara langsung. Dalam tuturan implikatif, penutur dan lawan tutur harus memiliki rancangan yang serupa dalam suatu konteks. Jika tidak, maka akan terjadi suatu kesalahpahaman atas tuturan yang terjadi di antara keduanya. Dalam relasi timbal balik di konteks budaya kita, penggunaan implikatur terasa lebih sopan, misalnya untuk tindak tutur menolak, meminta, memberi nasihat, menegur dan lain-lain. Tindak tutur yang melibatkan emosi kawan tutur pada umumnya lebih diterima kalau disampaikan dengan implikatur.

Kemampuan untuk mengerti implikatur dalam suatu tuturan tergantung pada kompetensi linguistik yang dikuasai seseorang. Seorang penutur tidak mungkin menguasai seluruh komponen bahasa alasannya kompetensi linguistik seseorang itu terbatas. Namun dengan kekurangan ini, seorang penutur mampu menciptakan ujaran yang tidak terbatas. Seorang penutur dan musuh tutur akan mampu mengerti dan menciptakan ujaran gres yang betul-betul gres dalam bahasanya.

Konteks adalah teks yang menyertai teks. Secara garis besar, konteks dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yakni konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik itu meliputi penyebutan depan, sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan proposisi kasatmata. Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa bagian-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu meliputi praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, jalan masuk, dan isyarat.

Hymes, Brown (dalam Louise Cummings, 2007:190) menyebutkan bahwa komponen-komponen tutur yang merupakan cirri-ciri konteks, ada delapan macam, yakni: (1) penutur (addresser), (2) pendengar (addrese) (3) pokok pembicaraan (topic), (4) latar (setting), (5) penghubung: bahasa lisan atau goresan pena (channel), (6) dialek/stailnya (code), (7) bentuk pesan (message), (8) peristiiwa tutur (speech event). 
Tanpa mengamati konteks, mampu terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi. Jadi konteks sangat penting dalam berkomunikasi alasannya adalah pada dasarnya konteks adalah salah satu kunci untuk memahami dari suatu tuturan dengan maksud yang terselubung.

PEMBAHASAN
“Mr. Pecut” merupakan salah satu kolom dalam surat kabat Jawa Pos (JP). “Mr. Pecut” dalam surat kabar lain, sering disebut dengan tentang pojok, alasannya adalah lazimnya terdapat di pojok dalam sebuah surat kabar. Di Harian Kompas dan Kedaulatan Rakyat menggunakan perumpamaan Pojok. Di Suara Merdeka memakai perumpamaan Semarangan dan di Solopos memakai perumpamaan Nuwun Sewu. Kolom “Mr. Pecut” berisikan nama kolom, inti perihal, dan sebuah gambar. Wacana pojok disusun oleh redaktur surat kabar untuk menanggapi, isu-berita yang pernah tampil di medianya dengan singkat dan bergaya ironi. Nama kolom ini juga memiliki implikatur dengan perspektif tanda ialah penggunaan nama “Mr. Pecut”. Pecut yakni padanan kata dari kata cambuk. Pecut menunjukan alat untuk mencambuk. Alasannya cambuk atau pecut dianalogikan dengan sindiran yang menyakitkan. Sedangkan penggunaan “Mr.” adalah kependekan dari kata “Mister” yang ialah pengurus dari kolom itu sendiri. Mengambil perumpamaan dari tulisan I Dewa Putu Wijana, inti dari perihal pojok (Mr.Pecut) berisikan dua bab ialah situasi dan sentilan.

Situasi berisi perihal insiden konkret atau opini yang diambil dari suatu isu yang sebelumnya dimuat di dalam surat kabar tersebut. Sentilan merupakan komentar atas peristiwa atau opini dalam inti wacana. Komentar-komentar tersebut mampu berupa sanggahan, sindiran, kritikan, masukan, usulan, ejekan dan lain-lain. Komentar-komentar tersebut sering memakai kata-kata pedas yang disajikan secara singkat dan implisit. Komentar-komentar dalam kolom “Mr. Pecut” atau dalam perihal pojok pada umumnya cenderung memihak rakyat. Komentar-komentar tersebut memiliki implikatur-implikatur yang mampu dipahami dengan mengaitkannya dengan konteks yang ada. Ada pun acuan-contoh implikatur dalam kolom “Mr. Pecut” yakni sebagai berikut,

(1) Kembali berjumpa , Mega-Sultan kian akrab.
Tapi nggak jaminan salah satu mau jadi cawapres!
(JP, 23/3/09)

Situasi dalam perihal di atas menggambarkan bahwa korelasi Megawati dan Sultan kian akrab untuk menghadapi Pemilu alasannya adalah mereka kembali berjumpa . Implikatur dalam sentilan tersebut yakni pernyataan yang menyampaikan sindiran bahwa kedekatan dan konferensi itu tidak mengindikasi salah satu dari mereka mau menjadi calon wakil presiden alasannya pada konteksnya, Sultan dan Megawati sama-sama berambisi untuk menjadi Presiden.

(2) Kasus DPT fiktif, karena Parpol teledor menganalisa.
Malah sibuk memeriksa pemasangan baliho!
(JP, 23/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa inovasi kasus DPT (Dafar Pemilih Tetap) dalam Pemilu disebabkan oleh Partai Politik yang lali mengevaluasi DPT tersebut. Implikatur dalam sentilan waacana di atas adalah sindiran dari pengelola “Mr. Pecut” kepada Partai Politik ialah mereka teledor mengevaluasi DPT karena mereka lebih sibuk memasang baliho-baliho yang dipakai sebagai media kampanye. Jika tidak mengetahui konteks yang asli, seorang pembaca mampu salah mengartikan bahwa ungkapan “memasang baliho” adalah memasang baliho untuk iklan atau yang lain.

(3) Cari Cawapres, tim JK jumpai Sutiyoso.
Tenang, yang ini nggak bisa membuatSBY sakit perut.
(JP, 23/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa untuk mencari Calon Wakil Presiden, Tim berhasil dari Jusuf Kalla (JK) menemui Sutiyoso. Hal ini memiliki arti ada kecenderungan bahwa JK akan merekrut Sutiyoso untuk dijadikan pasangan Capres dan Cawapres dalam Pemilu. Implikatur yang timbul dalam sentilan wacana di atas ialah pernyataan untuk tetap tenang, sebab hal tersebut tidak membuat SBY bingung. SBY tidak akan gusar alasannya adalah SBY tidak memiliki pandangan untuk menentukan Sutiyoso selaku Cawapres-nya.

(4) Amien Rais intruksikan agar PAN tinggalkan SBY.
Kasihan Pak, telah banyak yang ninggalin! 
(JP, 25/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa Amin Rais mengintruksikan biar PAN meninggalkan SBY. Dalam sentilan ditanggapi dengan bahasa yang menyatakan simpati dan agak menyindir SBY. Implikatur dalam sentilan tersebut adalah rasa simpati terhadap SBY yang ditinggalkan orang-orang terdekatnya ketika menghadapi Pemilu yang akan berjalan. Berdasarkan konteks, contohnya ialah bahwa SBY ditinggalkan Jusuf Kallawakil presidennyayang maju sebagai calon presiden bagi partai Golkar.

(5) Gelandangan di Washington berponsel dan menulis blog.
Kalau di sini, kadang nyolong ponsel dan agak goblok…
(JP, 25/3/09)

Situasi dalam perihal di atas menyatakan bahwa gelandangan yang hidup di Washington memiliki ponsel dan mampu menulis di blog. Dalam sentilan, redaktur yang membuat sentilan membandingkan situasi tersebut dengan situasi di Indonesia sehingga implikatur dalam sentilan tersebut yaitu gelandangan di Indonesia tidak mempunyai ponsel namun justru mencuri ponsel. Selain itu gelandangan di Indonesia tidak bisa menulis di blog karena pada dasarnya mereka goblok (bodoh). 

(6) KPU: bangku sisa bunyi ditentukan melalui undian
Hehehe, pemilu gaya togel! 
(JP, 25/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa pada pemilu yang akan berlangsung, KPU memberikan informasi bahwa dingklik sisa bunyi ditentukan lewat undian. Hal ini menyebabkan tanggapan dari pengurus kolom “Mr. Pecut”. Tanggapan itu berupa lelucon dengan gaya menyindir dan mengritik. Immplikatur dalam sentilan itu memberikan bahwa jika sisa bunyi diputuskan lewat undian maka Pemilu mirip permainan togel yang cuma diputuskan oleh aspek keberuntungan. Togel pernah menjadi fenomena yang marak di penduduk Indonesia. Oleh sebab itu, kalau penentuan sisa bunyi itu sungguh-sungguh ditentukan oleh undian maka politikus-politikus sama saja dengan pemain togel.

(7) KPU isyaratkan Pilpres tanpa kampenye terbuka.
Maklum, kita telah malas dengan omong kosong!
(JP, 26/3/09)

Situasi dalam perihal di atas menyatakan bahwa KPU mengisyaratkan semoga Pemilihan presiden yang mau berjalan dijalankan tanpa adanya kampanye terbuka. Sedangkan implikatur dalam sentilan tersebut menyampaikan bahwa selama ini kampanye untuk penyeleksian presiden, rakyat cuma disuguhi kampanye yang berisi kata-kata bohong atau komitmen-komitmen artifisial. Sehingga pengurus sentilan yang ikut statusnya menjadi rakyat menyindir suasana tersebut dengan sudut pandang “kita”.

(8) JK naik becak ke lokasi kampanye.
Ah, susahnya cari suara….
(JP, 26/3/09)

Situasi dalam tentang di atas menyatakan bahwa untuk menuju lokasi kampanye Jusuf kalla (JK) rela naik becak. Hal tersebut sungguh jarang terjadi, alasannya adalah biasanya seorang pejabat memakai mobil mewah untuk pergi ke suatu daerah. Hal itu menjadi suatu hal yang ironis, sehingga pengurus “Mr. Pecut” melontarkan “Ah, susahnya cari suara...”. Implikatur dalam sentilan tersebut memberikan tanggapan bahwa untuk mencari suara dalam pemilu, JK rela naik becak saat akan menuju lokasi kampanye.

(9) Pemerintah perpanjang penyaluran BLT
Biar sekalian bisa buat kampanye pilpres!
(JP, 26/3/09)

Situasi dalam tentang di atas menyatakan bahwa pemerintah memperpanjang penyaluran BLT (Bantuan Langsung Tunai) kapada masyarakat miskin. Situasi tersebut terjadi pad konteks Pemilu yang mau berlangsung sehingga dikhawatirkan kebijakan itu memiliki maksud-maksud tertentu. Sindiran terhadap suasana itu dilontarkan dengan balasan “Biar sekalian bisa buat kampanye Pilpres”. Implikatur dalam sentilan tersebut ialah alasan pemerintah memperpanjang penyaluran BLT alasannya mempunyai maksud untuk berkampanye dalam menghadapi Pemilu yang mau berlangsung. Dalam hal itu muncul perumpamaan, “sekali mendayung, dua hingga tiga pulau terlampaui” karena disamping kebijakan pemerintah terus berjalan, kampanye pun juga berlangsung.

(10) Tak hadir sidang korupsi Paskah Suzetta argumentasi sibuk.
Ya, sibuk bikin argumentasi! 
(JP, 27/3/09).

Situasi dalam perihal itu yaitu “Tak hadir sidang korupsi Paskah Suzetta argumentasi sibuk”, sedangkan bagian sentilan adalah “Ya, sibuk bikin argumentasi”. Situasi dalam perihal di atas menyatakan bahwa Paskah Suzetta yang terkena perkara korupsi tidak mampu menghadiri sidang alasannya beliau berargumentasi sibuk. Jika di dasarkan pada konteks, Paskah Suzetta mungkin saja memang benar-benar sedang sibuk. Lain halnya dengan sentilan dalam wacana tersebut yang berbau sindiran. Sentilan tersebut mempunyai implikatur bahwa Paskah Suzetta tidak hadir dalam sidang alasannya bukan alasannya adalah sibuk pekerjaan atau problem lain, akan namun sibuk mencari alasan. Jika dikaitkan dengan konteks, hal ini ada benarnya alasannya pejabat-pejabat yang terkena kasus pidana di negeri ini sering menghindar jikalau di panggil untuk menghadiri sidang sehingga mereka sibuk mencari alasan untuk tidak mampu datang ke sidang tersebut.

(11) Hari penyeleksian, minta TKI diliburkan.
Ah, tergantung majikannya dong! 
(JP, 27/3/09).

Situasi dalam perihal di atas menyatakan bahwa saat hari pemilihan ialah Pemilihan Umum, pemerintah minta TKI untuk diliburkan. Akan tetapi dalam sentilan , hal tersebut menjadi sebuah wacana yang ironis. berdasarkan pada konteks yang ada, sentilan tersebut memiliki implikatur bahwa pemerintah tidak berhak untuk meliburkan TKI alasannya setiap TKI mempunyai majikan sendiri. Sehingga dalam hal ini sentilan ini secara tidak pribadi menyindir para majikan TKI yang sering mengikat hak para TKI sehingga sering kali mereka seolah-olah berkuasa atas hak para TKI yang melakukan pekerjaan padanya.

(12) Bertemu Muhaimin dan Soetrisno Bachir, SBY ajak tuntaskan pemerintahan.
Bilang aja mau ngajak koalisi. 
(JP, 27/3/09).

Situasi dalam ihwal di atas menyatakan bahwa SBY mengadakan pertemuan dengan Muhaimin dan Soetrisno Bachir dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah dalam pemerintahan. Akan tetapi dalam sentilan pernyataan itu menjadi suatu pernyataan yang implisit, yakni SBY menyelenggarakan konferensi dengan Muahaimin dan Soetrisno Bachir memiliki maksud untuk mengajak mereka untuk koalisi dalam Pemilu yang dalam waktu akrab akan dilangsungkan. Berdasarkan konteks, hal itu mempunyai kebenaran yaitu Muhaimin dan Soetrisno Bachir, keduanya adalah ketua biasa partai politik yang mempunyai kader dan simpatisan yang besar.

(13) Dana talangan cair proyek tol mangkrak.
Jangan-jangan, investornya sibuk kampanye?
(JP, 28/3/09)

Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa dana talangan sudah cair, akan namun proyek tol tetap mangkrak. Hal ini menjadi ironis ketika dana untuk proyek jalan tol itu cair, tetapi proyek iu sendiri masih tetap mangkrak. Sehingga timbul pertanyaan “Kemanakah dana yang cair tersebut?”. Dalam dilema ini muncul sentilan “Jangan-jangan, investornya sibuk kampanye.” Sentilan tersebut mempunyai implikatur berupa sindiran dan pikiran bahwa dana talangan proyek jalan tol yang turun kemungkinan dipakai para investor untuk melakukan kampanye karena pada konteksnya waktu itu sedang gencar-gencarnya orang-orang melaksanakan kampanye untuk meyongsong Pemilu.

(14) Survey terakhir: Partai Demokrat, PDIP dan Golkar tiga besar
Semoga bukan survey pesanan mereka bertiga…
(JP, 28/3/09)

Situasi dalam perihal di atas yaitu survey yang dijalankan terakhir kali menyatakan bahwa Partai Demokrat, PDIP dan Golkar ialah tiga partai dengan perolehan bunyi terbesar. Implikatur dalam sentilan yang tertulis di atas yaitu adanya impian bahwa survey tersebut bukan pesanan dari tiga Parpol tersebut. Jika melihat konteks, hal ini ada suatu kecenderungan bahwa kalau hal tersebut benar-benar pesanan Parpol-Parpol tersebut maka hal tersebut dapat mendongkrak popularitas mereka untuk menghadapi Pemilu.

(15) Pelanggaran kampanye, Demokrat terbanyak.
Yang ini sungguhan, bukan hasil survey.
(JP, 28/3/09)

Situasi dalam tentang di atas menyatakan bahwa Partai Demokrat ialah partai dengan pelanggaran yang paling banyak dalam kampanye. Situasi dalam wacan di atas mendapat penguatan dari pengurus “Mr. Pecut” adalah hal tersebut memang benar dan muncul keinginan jika hal tersebut adalah bukan hasil dari survey. Implikatur dalam sentilan di atas ialah penguatan bahwa Partai Demokrat melaksanakan pelanggaran kampanye paling banyak dibanding partai lain dan hasil tersebut bukanah hasil dari sebuah survey. Hal ini juga memiliki implikatur bahwa adanya penginformasian untuk bersikap hati-hati dan kritis terhadap hasil suatu survey.

PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, mampu ditarik kesimpulan bahwa implikatur dalam kajian Pragmatik ialah sebuah hal yang sungguh penting karena pada kehidupan sehari-hari kita sering mendapatkan fenomena kebahasan yang mengandung implikatur. Wacana Pojok dalam hal ini “Mr. Pecut” memakai implikatur sebagai sarana untuk menyindir, menanggapi, mengkritik, memberi simpati dan lain-lain kepada pihak-pihak tertentu dengan tujuan agar pihak-pihak yang menjadi objek implikatur mengetahui dan mencerminkan apa yang sudah dilakukannya. “Mr. Pecut” memakai implikatur dengan aplikasi kontek sosial yang terjadi dalam penduduk . Pemakaian implikatur dalam ihwal ini juga mampu menjadi suatu dasar bila sindiran, kritikan, bahkan makian tidak selalu disampaikan secara langsung dan transparan.

DAFTAR PUSTAKA


Drs. Abdul Rani, M.Pd. dkk.2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.

Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.

Haliday, M. A. K dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks dan Teks. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

I Dewa Putu Wijana. Implikatur dalam Wacana Pojok. Jurnal Humaniora Vol XIII. 2001.

Louise Cummings. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tri Sulistyaningtyas. Diksi dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia. Jurnal Sosioteknologi Edisi 15. 2008.