Sabtu, 09 Oktober 2021

Cerpen Pulang Kampung

oleh: Andi Dwi Handoko

Tiba-tiba aku teringat kampungku. Sawah-sawahnya yang menghampar luas dan bunyi burung pipit yang terbang dari tangkai-tangkai padi seusai diusir oleh si empu sawah masih tajam mengisi urat sarat ingatanku. Entah telah berapa animo kampung itu ku tinggalkan. Atau barangkali telah berapa tahun kampung itu ku lewati. Rumah bapak ibuku masih saja dengan alamat itu. Masih sama seperti alamat tujuan wesel yang selalu aku kirimkan tiga atau empat bulan sekali.
Barangkali sudah waktunya aku kembali ke kampung halaman. Selama ini aku mirip dalam suatu kota pengasingan yang membuatku jauh dari kenangan abad kecil. Terpenjara dalam sebuah kota yang penuh dengan kehidupan beringas. Namun di kota ini, ibu kota ini, aku mampu menghidupi diriku yang dahulu hanyalah seorang pengangguran lulusan Sekolah Menengah Pertama dengan nilai final yang pas-pasan. Di segi lain saya juga mampu menyisihkan penghasilan untuk diantarke bapak ibu.
Kadang dikala aku mengantarkan wesel, ada akibat surat dari kampung. Isinya tak lain yakni menanyakan kapan aku pulang. Aku seperti menjadi seorang anak durhaka yang selalu menangguhkan -nunda untuk pulang ke kampung dengan argumentasi sibuk. Akan tetapi setiap menjelang lebaran pekerjaanku semakin diburuwaktu. Alias memang betul-betul sibuk. Apalagi jikalau ditanya wacana kapan aku pulang menjinjing kandidat istri. Itu pertanyaan yang sungguh memilukan bagiku.
Tiba-tiba saja aku juga teringat mitra-kawan sepermainanku. Dulu, saat bakda ashar, kita berbondong-bondong menuju masjid untuk berguru mengaji. Aku masih ingat Darsih, tetanggaku. Ia yang membuat aku senantiasa tekun ke masjid untuk berguru baca tulis Al quran. Aku senang diajari olehnya. Padahal bila sekolah beliau ialah sobat sekelasku. Ah, saya mungkin memang terlalu lambat untuk mengeja abjad hijaiyah. Tapi entah mengapa aku lebih cepat mengeja senyum Darsih yang sangat bagus itu. Akan tetapi itu dulu, selepas lulus SMP, Darsih sudah dipinang dan dinikahi orang lain. Seorang pria tetangga desa yang katanya bekerja di kantor kecamatan.
Ya memang begitulah kampungku. Anak-anak perempuan seumuran lulusan SMP telah biasa untuk dikawinkan. Orang-orang tua di kampungku sudah terdoktrin paham bahwa kodrat wanita hanyalah sebatas kanca wingking yang tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Yang penting wanita itu berakal 3M, yakni masak, macak dan manak. Ya memang begitu pertimbangan mereka. Aku malah teringat pada Darsih. Sudah punya anak berapakah beliau? Aku juga masih ingat senyumnya. Manis sekali.
Labaran ini telah ku putuskan untuk pulang kampung ke kampung halaman. Aku akan menjinjing uang sebanyak yang aku punya dan menyebarkan fitrah dengan keponakan-keponakan. Aku akan mencium tangan dan bersujud di kaki ibuku yang telah bertahun-tahun saya lewati. Tapi saya pulang tidak menenteng kandidat istri. Aku malah berniat mencari calon istri di kampung. Aku pun berhayal kalau Darsih telah bercerai dan saat aku pulang beliau mau ku nikahi. Atau Mungkin khayalanku ini terlalu tinggi.
“Han...Barhan...ini tiketmu, keretanya berangkat besok jam sembilan pagi!”
“ Oke...lha kamu gak ikut mudik?
“Ha..ha..ha....tahun depan saja, aku masih kerasan di kota ini”
“Ya sudahlah...kamu tadi ditelepon Tedjo”
“Sudah ku telepon balik”

***
Aku sudah berada alam sebuah kereta yang hendak membawaku pergi dari ibu kota menuju stasiun di suatu kota kecil yang akan mengirimkan ke kampung halamanku. Wajah-tampang aneh berada dalam sekelilingku. Mereka berjejajalan dengan menenteng barang bawaan yang berlebih. Aku sendiri hanya menjinjing tas ransel yang isinya pastinya hasil jerih payahku selama ini. Aku tak akan repot-repot menenteng bekal dari kotaku. Nanti saja aku akan beli buah tangan di pasar kecamatan saja. Setelah sampai kampung, niscaya orang-orang rumah tak akan menanyakan di mana buah tangan itu ku beli. Mereka niscaya menduga oleh-olehku nanti ialah oleh-oleh dari ibu kota.
Benar saja, setelah hingga di pasar kecamatan, aku membeli buah tangan sangat banyak. Ada roti, kurma, busana, sarung, sirup minuman, dan lain-lain. Pokoknya banyak. Pasar kecamatan bagiku kini tak setradisional dulu sebelum saya pergi ke ibu kota. Kini di sekitarnya telah bangkit beberapa mini market dengan tata cara supermarket memalsukan mirip yang ada di kota yang tak kenal negosiasi. Bangunan pasar pun sekarang telah dirombak, dibangun dengan tembok yang kuat dan seluruhnya beratap permanen. Tidak seperti dahulu, beberapa bilik pedagang hanya beratapkan terpal yang kian lama semakin rapuh lalu bocor sebab hujan dan panas.
Dengan menyewa suatu kendaraan beroda empat angkuta, aku menuju ke kampungku. Jalan ke kampungku kini sudah beraspal, walau beberapa sudut jalan tampakaspalnya telah mengelupas dan menyisihkan lubang yang lumayan untuk membuat kendaraan bergoyang. Sawah-sawah masih mirip dahulu. Tak ada tanaman di demam isu kemarau, kecuali yang akrab dengan sungai.
Rumahku masih mirip dulu. Hanya ada beberapa bagian yang menerima perbaikan. Aku lihat bapak, ibu dan beberapa kerabat berada di ruang tamu saat aku tiba dan mengetuk daun pintu yang telah terbuka. Mereka sekejap heran. Lalu ucapan selamat datang pun membahana. Apalagi dari ibuku.“Oh akhire kowe mulih tenan le..le...”. Tak ada balasan bagiku kecuali pelukan dan lalu sungkem dihadapannya. Kemudian disusul sungkeman dengan kerabat lainnya.
Keponakan-keponakanku bahagia mendapat buah tangan dariku. Mereka tertawa riang dan menunjukkan apa yang mereka mampu. Raut tampang kedua orang renta ku pun tampak bangga melihat diriku yang sudah mapan. Aku mengaku sebagai staf pegawai di suatu kantor swasta. Dari yang semula pegawai rendahan, sekarang telah bergaji tidak mengecewakan.
Akan namun apa yang saya ceritakan wacana pekerjaanku bergotong-royong adalah kebohongan besar. Dalam hati aku meminta maaf kepada semua keluargaku terutama bapak ibu. Aku bukan pegawai kantor dengan gaji terorganisir setiap bulan. Maaf sekali lagi alasannya saya hanyalah seorang pencopet ibu kota. Dan trend lebaran kali ini kugunakan untuk mudik ke kampung cuma untuk sekadar bersembunyi dari kejaran polisi.