Minggu, 03 Oktober 2021

Kisah Islami Kado Pernikahan


Kado Pernikahan


Siang tadi ia ditemui Hafiz, seseorang yang dianggapnya kekasih hati semenjak dua tahun lalu. Hafiz tak lain adalah abang tingkatnya di kampus. Hanya jeda setahun jenjang pendidikan mereka. Dan beberapa bulan kemudian, Hafiz sudah purnabelajar di jenjang sarjana. Sementara Husna masih bertitel mahasiswi tingkat selesai. Ia masih berkutat dengan skripsi.Suara petir memecah keheningan malam. Hujan yang kadang lebat kadang gerimis sedari petang tak letih menghujam bumi sampai nyaris tengah malam. Husna masih dalam alam sadarnya. Kantuk tak juga menghinggapinya. Matanya tidak mau dipaksa pejam. Ia masih memikirkan hal yang membuatnya ragu-ragu.
Pertemuan Husna dengan Hafiz membicarakan sesuatu yang serius. Hafiz ingin menikahi Husna. Tak pelak, hal ini membuat Husna kaget. Dari ucapan dan klarifikasi Hafiz, jelas beliau tak sekadar bercanda. Hal itu adalah bukti keseriusan Hafiz pada Husna. Husna tak banyak berkata, beliau hanya diam dengan segala kebimbangan. Sementara Hafiz dengan sarat pengertian memberi kebebasan Husna untuk menjawabnya kapan pun.
Husna teringat apa yang dibilang ibunya sepekan yang kemudian.
“Nduk, kamu telah sampaumur, telah patut berumah tangga” kata ibunya.
“Ah..Bu...Husna kan masih kuliah. Husna pengin lulus jadi sarjana dulu”
“Ya memang, tetapi kamu itu anak Ibu terakhir yang belum menikah, terlebih bapakmu telah tiada. Ibu ingin segera melihatmu menikah dan berumah tangga seperti abang-kakakmu. Sebentar lagi kamu juga lulus to?”
“Benar Bu, Husna tinggal skripsi saja. Tapi kan Husna belum berpikiran untuk cepat berumah tangga”
Lha makanya cepat dipikirkan. Itu Hafiz sepertinya juga telah matang untuk berumah tangga”
“Mas Hafiz baru saja lulus Bu, dia belum memiliki pekerjaan tetap.”
“Nduk, kalau menikah itu diniati sebagai ibadah, maka rezeki akan dipermudah oleh Allah. Ibumu ini telah renta, Husna”
Saat itu, Husna hanya membisu mendengar yang dikatakan ibunya. Ia begitu meresapi dan merenungi pernyataan ibunya di selesai obrolan itu.
Di malam ini, Husna kembali merenungi apa yang dibilang ibunya dan Hafiz. Semua arahnya sama, ialah pernikahan. Sebenarnya dia tak menolak untuk menikah, tetapi sebetulnya dia ingin lulus dahulu dan berdikari. Ia juga mempertimbangkan kalau Hafiz belum mempunyai pekerjaan yang tetap. Barangkali Hafiz setidaknya sudah memiliki penghasilan sebagai penulis freelance, tetapi itu tidak pasti sebab hanya freelance. Husna tidak materialistik, tapi dia ingin seluruhnya siap lahir batin.
Sementara skripsi Husna masih terbengkalai. Ia telah melaksanakan observasi dan penelitian. Namun, penulisan bab-bagian awal skripsinya terkendala oleh dosen pembimbing yang sangat susah ditemui untuk diajak konsultasi. Terkadang malah dosennya selalu mencari kesalahan-kesalahan kecil dan berulang-ulang sehingga memperlambat proses penulisannya.
Husna benar-benar sangsi. Ia kian tak mencicipi kantuk akhir dari pikirannya. Tiba-datang ada yang memecah lamunannya. Ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk. Ia membaca nama di layar, “Aa Hafiz”.
“Assalamualaikum” terdengar suara Hafiz dari ponsel.
“Waalaikumsalam” jawab Husna
“Belum tidur Dik?”
“Belum Mas, masih tidak yakin soal tadi siang”
“Maaf jikalau itu membebani Dik Husna, Mas juga tak memaksa Adik. Kan orangtua Adik juga belum tahu”
Nggak apa-apa Mas, bila Ibuku, Beliau malah menasihati Adik untuk secepatnya menikah dengan Mas Hafiz”
“Syukurlah kalau Beliau merestui. Baiklah, untuk memantapkan hati. Mari salat istikarah dan berdoa supaya hati kita damai dan menerima isyarat dari Allah”
***
Sebulan berlalu, Husna memutuskan menerima pinangan Hafiz. Hati Husna mantap untuk menikah dengannya. Selain untuk membahagiakan orangtuanya, Husna ingin menjalani ijab kabul selaku suatu ibadah. Ia berjanji akan senantiasa setia terhadap Hafiz. Begitu juga dengan Hafiz. Ia berjanji akan menjadi imam yang baik bagi Husna.
Setelah menikah, Husna dan Hafiz tinggal di rumah Ibu Husna. Hafiz bertindak sebagai kepala rumah tangga mengambil alih ayah Husna yang telah tiada. Tampak kebahagiaan menyelimuti mereka. Dan mirip telah diskenario Tuhan, Hafiz akan segera memiliki pekerjaan tetap alasannya adalah tak selang usang sesudah menikah, ia lolos di perekrutan CPNS di kota daerah dia tinggal. Berkah juga tak lari dari Husna. Entah mengapa setelah ia menikah dengan Hafiz, proses solusi skripsinya terasa diperlancar. Dosen pembimbing yang dulunya sulitnya minta ampun, sekarang gampang dijumpai dan memudahkan pengesahan skripsi. Tak berselang lama, ujian pendadaran pun telah di depan mata Husna.
Alhamdulillah, semua tanpa kendala seperti yang kita kehendaki Mas,” ucap Husna di pelukan Hafiz menjelang tidur.
“Iya Dik, semua ini lezat dari Allah yang wajib kita syukuri dan ialah hadiah akad nikah kita”
“Amin. Dan memang benar kata Ibu Mas,” nada Husna agak menggantung.
“Apa kata Ibu?” tanya Hafiz penasaran.
“Kalau menikah diniati selaku ibadah, maka rezeki akan dipermudah oleh Allah,” ujar Husna dengan senyum bagus.